Keran ekspor batu bara kembali dibuka setelah sebelumnya Pemerintah menerbitkan larangan ekspor selama 1-31 Januari 2022. Belum sampai sebulan, sudah 75 kapal pengangkut yang berangkat ekspor (23/01). Produksi batu bara Indonesia selalu didominasi untuk ekspor. Tidak banyak yang dipergunakan secara optimal di dalam negeri.
Pada 2021, misalnya, data dari Ditjen Minerba, dari 614 juta ton batu bara yang diproduksi di dalam negeri, kurang dari 22% pemanfaatannya untuk domestik. Secara global, Indonesia masih menjadi pengekspor dari sisi kuantitas. Berdasarkan laporan International Energy Agency, pada 2020, total ekspor mencapai 405 juta ton.
Buruknya pengelolaan batu bara saat ini menjadi hal serius yang harus segera dicarikan solusinya. Salah satunya, masih seragamnya pungutan ekspor yang dikenakan oleh pemerintah untuk setiap ton batu bara yang diekspor berapapun harga di tingkat internasional.
Dengan harga yang melambung sangat tinggi seperti saat ini, sementara biaya eksploitasi batu bara tidak berubah signifikan, hanya segelintir pihak yang mendapatkan manfaat paling besar. Sementara rakyat kecipratan sedikit. Bahkan, jutaan rakyat terancam tidak mendapatkan aliran listrik akibat pengusaha batu bara yang tidak memenuhi kewajiban DMO 25%.
Lalu, berapa biaya ‘sebenarnya’ untuk memproduksi? Pada 2011, sekelompok peneliti termasuk ekonom, dokter dan ahli kesehatan masyarakat dari Universitas Harvard dan ahli ekologi mencoba menghitungnya.
Mereka menganalisis biaya penuh ‘siklus hidup’ batu bara di Amerika Serikat—yaitu, seluruh biaya dari kegiatan menambang, mengangkut, membakarnya untuk listrik, hingga emisi dan kerusakan yang dihasilkan pada iklim, kesehatan masyarakat, tanaman dan hewan di sekitar tambang.
Hasilnya, jumlah total eksternalitas batu bara secara rata-rata adalah 17,84 sen dolar per kilowatt-jam.
Di Indonesia, kegiatan eksploitasi batu bara juga menyisakan sejumlah masalah serius. Banyak masyarakat di sekitar tambang merasakan perubahan kualitas hidup akibat kegiatan penambangan, menurunnya kualitas kesehatan, kualitas udara, dan air.
Terlalu murah apabila eksploitasi batu bara dinilai dengan harga internasional kini mengingat tidak banyak menciptakan value-added creation dan job-creation, dan bahkan meninggalkan lingkungan hidup dalam kondisi kritis. Terlebih, cadangan batu bara tersisa 65 tahun jika produksi rerata sebesar 600 juta ton per tahun.
Oleh karena itu, sudah saatnya Indonesia berbenah diri mengatur ulang tata kelola sumber daya alam, khususnya batu bara. Pertama, dengan mendisiplinkan kegiatan eksploitasi secara lebih berkelanjutan. Menghitung segala kerusakan yang ditimbulkan akibat kegiatan penambangan dan mengalokasikan biaya eksternalitas secara disiplin untuk pemulihan lingkungan hidup penambangan.
Dalam PP No. 96/2021 memang ada klausul terkait reklamasi dan pascatambang. Namun, tidak disebutkan kewajiban persentase anggaran yang harus dialokasikan oleh pengusaha batu bara dan bagaimana monitoring pelaksanaan kegiatan pemulihan lingkungan ini.
Pungutan Pajak
Kedua, memajaki hasil kekayaan alam dengan lebih adil dan bijak. Misalnya dengan mengenakan pungutan pajak yang diatur secara progresif mengikuti perkembangan harga batu bara. Kegagalan dalam menangkap variabel ini tidak hanya berdampak seperti apa yang dijelaskan di atas, tetapi juga membawa masalah ini ke masa depan.
Ketiga, penerimaan dari hasil eksploitasi kekayaan alam ini adalah spesial. Tidak seperti penerimaan negara lain, aset alam semakin menipis dan akan habis. Karenanya, pendapatan dari kekayaan alam harus digunakan secara targeting untuk mengatasi persoalan spesifik.
Misalnya untuk mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Bisa juga 60% dari penerimaan kekayaan alam ini ditujukan untuk mempercepat pengentasan kemiskinan ekstrem yang masih di atas 10 juta jiwa.
Keempat, saatnya mewajibkan pengusahaan batu bara diprioritaskan untuk hilirisasi, bukan ekspor. Misalnya, 20%-30% dari total produksi harus dituangkan dalam produk-produk hilirisasi, sehingga proses industrialisasi dalam negeri terbangun dan lapangan kerja tercipta.
Masalah pemanfaatan aset alam untuk pembangunan adalah persoalan mata rantai yang sangat penting. Jika salah satu dari mata rantai tersebut gagal maka proses pemanfaatan sumber daya alam demi pembangunan akan kandas pula.