Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah berencana meniadakan program bantuan sosial (bansos) dalam bentuk tunai dalam Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) pada tahun ini.
Pada 2021, tercatat penyaluran bansos tunai (BST) mencapai Rp17,24 triliun, disalurkan kepada 9,99 juta keluarga penerima manfaat (KPM).
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai, kebijakan austerity atau terburu-buru oleh pemerintah yang menghapus bantuan yang dibutuhkan masyarakat selama masa pandemi sebaiknya dibatalkan.
Pasalnya, dari berbagai indikator ekonomi, pemulihan daya beli kelompok masyarakat menengah ke bawah membutuhkan waktu lebih lama dibandingkan dengan pengeluaran masyarakat kelas menengah ke atas.
Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) pun menunjukkan bahwa responden dengan pengeluaran Rp1 juta hingga Rp2 juta per bulan pemulihannya tertinggal dibandingkan responden dengan pengeluaran diatas Rp5 juta.
“Ada gap pemulihan dari sisi pendapatan juga karena serapan kerja belum kembali seperti pra-pandemi,” kata Bhima kepada Bisnis, Rabu (26/1/2022).
Baca Juga
Di samping itu, kata Bhima, Indeks Ketersediaan Lapangan Kerja pun belum berada di atas level 100 pada Desember 2021.
Tantangan inflasi pangan dan energi ke depan juga membayangi upaya menurunkan angka kemiskinan.
“Tekanan pada 2022 jauh lebih kompleks selain masih ada kekhawatiran pandemi juga, volatilitas nilai tukar dapat sebabkan imported inflation,” tuturnya.
Dia mengatakan, penyaluran bansos tunai dengan basis data yang lebih baik, terbukti jauh membantu dibandingkan dengan bantuan sembako.
“Harusnya tetap dipertahankan sampai akhir 2022. Kalau pemerintah beralasan dana terbatas, sebaiknya lakukan realokasi anggaran dari belanja barang, belanja pegawai maupun sebagian belanja fungsi infrastruktur,” kata Bhima.