Bisnis.com, JAKARTA — Center for Indonesia Taxation Analysis atau CITA menilai bahwa pengenaan pajak terhadap aset non fungible token atau NFT masih akan bergantung kepada kejujuran wajib pajak, karena belum adanya instrumen pemantauan khusus dari pemerintah.
Manajer Riset CITA Fajry Akbar menilai bahwa terus berkembangnya aset digital, seperti NFT dan koin kripto membawa peluang baru bagi penerimaan negara. Keuntungan dari penjualan NFT atau kripto dapat dikenakan pajak penghasilan (PPh).
Meskipun begitu, menurutnya, pemerintah belum dapat memastikan seluruh kepemilikan aset digital dari seorang wajib pajak karena tidak seluruh akun dan transaksinya terintegrasi dengan data kependudukan. Hal tersebut membuat pemajakan NFT dan kripto pun akan bergantung kepada kejujuran wajib pajak dalam pegungkapan asetnya.
"Pendeteksian kepemilikan [NFT dan aset digital lain] tetap menjadi pekerjaan rumah," ujar Fajry kepada Bisnis, Senin (17/1/2022).
Aset finansial dan fisik lainnya terpantau cukup ketat karena terdapat keterkaitan dengan data kependudukan saat transaksi, sehingga memudahkan Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) dalam melakukan penelusuran. Namun, memang masih banyak celah, terlihat dari masih adanya harta yang perlu diungkapkan lewat jalur khusus tax amnesty.
Menurutnya, dalam memaksimalkan pemajakan NFT dan aset digital, pemerintah perlu bekerja sama degan pihak ketiga. Hal tersebut berlaku seperti penarikan pajak pertambahan nilai perdagangan melalui sistem elektonik (PPN PMSE).
Baca Juga
"Saya kira DJP dapat bekerja sama dengan OpenSea atau marketplace NFT lainnya, seperti halnya kerja sama dengan Google, Spotify, Netflix, dan platform digital lain," ujar Fajry.