Cari berita
Bisnis.com

Konten Premium

Bisnis Plus bisnismuda Koran Bisnis Indonesia tokotbisnis Epaper Bisnis Indonesia Konten Interaktif Bisnis Indonesia Group Bisnis Grafik bisnis tv

Risiko Lonjakan Harga Energi, Begini Cara Industri Menyiasatinya

Risiko lonjakan harga energi menjadi ‘kado’ tahun baru bagi pelaku industri manufaktur. Selain tarif dasar listrik (TDL) yang direncanakan naik seiring dengan pemangkasan subsidi untuk PLN, rencana penghapusan bahan bakar minyak (BBM) jenis Premium dan Pertalite juga disinyalir akan mengerek biaya logistik.
Reni Lestari
Reni Lestari - Bisnis.com 10 Januari 2022  |  12:47 WIB
Risiko Lonjakan Harga Energi, Begini Cara Industri Menyiasatinya
Ilustrasi. Pabrik Perusahaan petrokimia PT Polytama Propindo. - Istimewa

Bisnis.com, JAKARTA – Risiko lonjakan harga energi menjadi ‘kado’ tahun baru bagi pelaku industri manufaktur. Selain tarif dasar listrik (TDL) yang direncanakan naik seiring dengan pemangkasan subsidi untuk PLN, rencana penghapusan bahan bakar minyak (BBM) jenis Premium dan Pertalite juga disinyalir akan mengerek biaya logistik.

Dari sisi permintaan, masyarakat juga dihadapkan pada kenaikan harga liquefied petroleum gas (LPG) nonsubsidi sebesar Rp1.600 hingga Rp2.600 per kilogram.

Sekjen Asosiasi Olefin, Aromatik, dan Plastik Indonesia (Inaplas) Fajar Budiono mengatakan bahwa mahalnya harga energi mendorong pelaku usaha melakukan inovasi di sektor produksi, seperti mengganti alat permesinan dengan yang lebih efisien.

“Dari sisi pengusaha, kami yang sudah mengantongi sertifikat Proper [dari Kementerian LHK], juga setiap tahun dituntut untuk mengurangi pengeluaran energi yang dikonsumsi dengan mengganti bagian-bagian baru yang lebih hemat energi,” katanya kepada Bisnis, Senin (10/1/2022).

Hal itu, lanjut Fajar, seiring pula dengan peralihan konsumsi ke energi terbarukan. Dia menggarisbawahi harga energi yang dihasilkan panel surya telah mendekati biaya listrik dari PLN, meskipun baru bisa menggantikan sekitar 20–30 persen.

Selain itu, penggunaan sumber energi terbarukan lain juga harus disesuaikan dengan kondisi geografis dan sumber daya masing-masing daerah.

Fajar mengatakan, sumber energi terbarukan yang berpeluang digunakan secara masif oleh industri saat ini adalah biomassa.

“Biomassa kan banyak sekali kita punya, mulai dari sisa padi, jagung, sawit, karet, tebu. Karena itu riset-risetnya sudah mulai harus diperbanyak,” ujarnya.

Diketahui, selain tekstil, petrokimia merupakan salah satu subsektor yang lahap energi. Di sisi lain, muncul wacana pemangkasan subsidi listrik untuk PLN sekitar 8,13 persen, dari Rp61,53 triliun menjadi Rp56,5 triliun pada tahun ini. Hal itu akan berdampak pada kenaikan TDL karena biaya pokok penyediaan listrik yang terkerek.

Belum lagi risiko kenaikan tarif listrik dari penerapan pajak karbon yang pada tahun pertama ini menyasar pembangkit listrik tenaga uap (PLTU), meski pemerintah belum memiliki peta jalan dan pedoman teknis pemberlakuannya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Simak Video Pilihan di Bawah Ini :

Simak berita lainnya seputar topik artikel ini, di sini :

industri tarif listrik lpg harga batu bara
Editor : Lili Sunardi

Artikel Terkait



Berita Lainnya

    Berita Terkini

    back to top To top