Bisnis.com, JAKARTA – Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) akan menghadirkan angkutan umum berbasis jalan dengan sistem bus rapid transit (BRT) di Bogor, Jawa Barat, sebagaimana sudah berjalan di DKI Jakarta dengan layanan Transjakarta.
Kepala BPTJ Polana B. Pramesti mengatakan bahwa keberadaan layanan BRT itu merupakan solusi terhadap permasalahan sarana transportasi perkotaan yang masih mengandalkan angkutan kota (angkot) atau bus konvensional.
“Keberadaan angkot dan bus konvensional tersebut tidak hanya menimbulkan kesemrawutan karena ngetem dan berhenti di sembarang tempat, tetapi juga sulit untuk menegakkan standar pelayanan yang dapat memberikan keselamatan, keamanan dan kenyamanan kepada masyarakat pengguna," ujarnya saat ditemui di Kantor BPTJ, Kamis (7/10/2021).
Polana berujar, sejak 2018 BPTJ sudah mempunyai Rencana Induk Transportasi Jabodetabek (RITJ) sebagaimana diamanatkan dalam Peraturan Presiden Nomor 55/2018. Dalam RITJ tersebut, salah satu Indikator Kinerja Utama (IKU) adalah mengurangi kemacetan.
Bukan itu saja, pada 2029 juga ditargetkan sebanyak 60 persen pergerakan orang di Jabodetabek sudah menggunakan angkutan umum. Selain itu, juga terdapat IKU yang menyebutkan waktu perjalanan menggunakan angkutan umum massal di Jabodetabek pada 2029 maksimal 1,5 jam.
“Tentunya hal ini sulit tercapai tanpa adanya integrasi antarmoda pada layanan angkutan umum massal di Jabodetabek. Kita semua tahu salah satu yang mengurangi kemacetan adalah mendorong masyarakat untuk menggunakan angkutan umum massal. Sementara itu, selama ini angkutan umum massal belum membuat masyarakat tertarik,” imbuhnya.
Maka dari itu, Polana menilai, salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan menyediakan jasa angkutan umum massal dengan skema Buy The Service (BTS).
Artinya, pemerintah dalam hal ini BPTJ akan menyubsidi 100 persen biaya operasional atau Biaya Operasional Kendaraan (BOK) yang diperlukan untuk melaksanakan pelayanan angkutan umum massal.
“Untuk saat ini kami memulai di Kota Bogor, karena Bogor sudah ada partisipasi Pemerintah Daerahnya. Mereka sudah membuat kajian dan studi yang cukup lengkap. Mereka juga menyatakan kesiapannya untuk melanjutkan program ini,” tambah Polana.
Polana mengaku, rencana penyediaan angkutan umum massal bersubsidi itu sebenarnya sudah direncanakan sejak 2019. Namun, karena adanya pandemi Covid-19 dan keterbatasan anggaran, upaya ini baru terealisasi tahun ini.
“Subsidi yang diberikan adalah dalam bentuk skema BTS dengan Kota Bogor sebagai pilot project yang diharapkan pada pertengahan Oktober 2021 sudah dapat diluncurkan,” jelasnya.
Sebagai informasi, layanan BRT berbeda dengan angkutan konvensional. BRT mensyaratkan manajemen pengelolaan oleh badan usaha yang dalam kontrak operasional pelayanannya wajib mematuhi standar layanan yang telah ditetapkan, sehingga kontrol terhadap standar pelayanan lebih memungkinkan.
Selain itu, kehadiran BRT juga memudahkan upaya integrasi antarmoda baik secara fisik maupun sistem. Secara fisik dapat dilakukan dengan penataan koridor, sedangkan menyangkut sistem dimungkinkan karena sistem pembayaran tidak lagi menggunakan uang tunai, melainkan kartu elektronik.
Untuk wilayah Jabodetabek, saat ini baru DKI Jakarta saja yang dapat menerapkan sistem BRT dengan layanan Transjakarta. Sementara itu, wilayah administratif penyangga di sekitar DKI Jakarta, yaitu Bodetabek, belum satupun memiliki sistem BRT yang sustainable.
Banyak faktor yang ditengarai menjadi penyebab mengapa wilayah administratif Bodetabek belum memiliki layanan BRT yang sustainable.
Kurangnya good will dari pemerintah daerah setempat, serta kepedulian dan kesadaran dari stakeholder, ketiadaan anggaran hingga keterbatasan sumber daya merupakan faktor yang sering disebut sebagai penyebab hal itu terjadi.