Bisnis.com, JAKARTA — Standarisasi layanan akan menjadi salah satu fokus utama Pelindo secara jangka pendek, termasuk edukasi kepada para pemangku kepentingan tentang penyeragaman servis itu.
Dunia logistik pun berharap banyak pada aksi konsolidasi BUMN kepelabuhanan pada pembuka Oktober tahun ini. Apa saja gebrakan yang disiapkan Pelindo untuk mengurai karut marut industri logistik di Tanah Air? Bisnisindonesia.id memiliki analisis aktual untuk menjawab pertanyaan tersebut.
Selain soal kelanjutan aksi Pelindo pascamerger pada 1 Oktober 2021, berbagai berita pilihan tersaji dari meja redaksi Bisnisindonesia.id. Mulai dari kontroversi pajak karbon di dunia usaha hingga prospek cerah saham emiten pengembang.
Berikut highlight Bisnisindonesia.id, Senin (4/10/2021) :
Mengawal Gebrakan 100 Hari Pelindo
Segunung asa ditimpakan pada Pelindo yang baru saja merger 1 Oktober, mulai dari layanan yang lebih andal dan standar di seluruh wilayah kerjanya, perampingan tarif yang diikuti dengan penurunan biaya logistik, hingga menggarap bisnis kepelabuhanan di luar negeri alias go global.
Pelindo pun telah menetapkan peta jalan yang akan mengarahkan langkah strategis perusahaan setelah penggabungan hingga 2025.
Pada fase pertama, yakni 2021—2022, Pelindo akan berfokus pada penyelarasan bisnis pascastandarisasi dan integrasi operasi dan komersial.
Selanjutnya, pada fase kedua, yakni 2023—2024, Pelindo akan melakukan ekspansi bisnis lewat kemitraan. Kolaborasi akan dilakukan dengan pelayaran domestik dan global untuk meningkatkan konektivitas laut serta kerja sama dengan pelaku logistik darat.
Pada fase terakhir, yakni mulai 2025, Pelindo akan melakukan ekspansi regional dan internasional dengan memanfaatkan teknologi digital dalam bisnis kepelabuhanan dan bisnis pendukungnya, juga kerja sama dengan kawasan industri untuk meningkatkan arus barang.
Namun, seperti institusi yang baru dibentuk atau figur publik yang menduduki jabatan baru, gebrakan 100 hari sangat dinanti-nanti.
Rencana Penerapan Pajak Karbon dan Ketidaksiapan Dunia Usaha
Penerapan pajak karbon rencananya dimulai 2022. Pajak karbon merupakan salah satu rencana yang tertuang dalam Revisi UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan atau RUU KUP yang dibahas bersama DPR.
Seperti dikutip dari draf RUU KUP yang diterima Bisnis, subjek pajak karbon adalah orang pribadi atau badan yang membeli barang yang mengandung karbon dan/atau melakukan aktivitas yang menghasilkan emisi karbon.
Rencana ini belum sepenuhnya didukung oleh kalangan dunia usaha. Mereka meminta agar pemerintah mempertimbangkan kembali rencana pemberlakuan pajak karbon dan kenaikan royalti lantaran dinilai membebani pengusaha di tengah upaya menekan emisi karbon.
Pengusaha pun menilai pengenaan pajak karbon kurang tepat jika dibebankan kepada industri dalam negeri. Hal ini akan berimbas pada daya saing industri tekstil terhadap gempuran produk impor.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati (dalam layar) memberikan pemaparan dalam webinar Mid Year Economic Outlook 2021: Prospek Ekonomi Indonesia Pasca Stimulus, Relaksasi dan Vaksinasi di Jakarta, Rabu (7/7/2021). Bisnis/Himawan L Nugraha
Konsolidasi Fiskal Berat, Janji Pemangkasan PPh Diingkari
Target konsolidasi fiskal pada 2023 yang berat membuat pemerintah batal mewujudkan janji pemangkasan tarif pajak penghasilan badan menjadi 20 persen pada tahun depan.
Semula, dalam UU No 2/2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19 dan/atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan, pemerintah bertahap menurunkan PPh badan dari 25 persen menjadi 22 persen untuk tahun pajak 2020 dan 2021, lalu berkurang menjadi 20 persen pada 2022.
Tarif tersebut berlaku bagi wajib pajak dalam negeri dengan ketentuan berbentuk perseroan terbuka, dengan jumlah keseluruhan saham yang disetor diperdagangkan pada Bursa Efek Indonesia paling sedikit 40 persen.
Namun, keputusan itu dibatalkan dalam RUU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) yang baru saja disepakati pemerintah dengan Panitia Kerja RUU HPP di Komisi XI DPR, Kamis (30/9/2021) malam.
Bab III pasal 17 ayat (1) huruf b menyebutkan tarif pajak atas penghasilan kena pajak bagi wajib pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap sebesar 22 persen yang berlaku mulai tahun pajak 2022.
Panja RUU mengeklaim pembatalan relaksasi pajak korporasi akibat pandemi Covid-19 itu karena pemerintah dan DPR mempertimbangkan aspek kesinambungan fiskal.
Pemerintah menargetkan konsolidasi fiskal pada 2023 yang mewajibkan batas maksimal defisit APBN kembali di bawah 3 persen terhadap produk domestik bruto.
Upaya Memacu Ekspor UKM Tak Melulu Soal Biaya Pengiriman
Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia memperkirakan 15 persen dari capaian ekspor nonmigas pada tahun ini terhambat akibat kelangkaan kontainer sejak semester kedua tahun lalu. Bahkan, kelangkaan kontainer mencapai 5.000 unit setiap bulan.
Tak hanya sampai di situ, kelangkaan kontainer berimbas kepada melonjaknya biaya pengiriman kontainer.
Berdasarkan penjelasan Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi, saat ini tarif pengiriman barang ekspor melalui jalur laut mengalami peningkatan lima hingga sepuluh kali lipat dari sebelumnya.
Kini biaya pengapalan mencapai US$10.000 sampai US$20.000 per kontainer.
“Terkait tarif pengiriman ekspor jalur laut yang meningkat, kami memberi usulan kepada para pelaku UKM, khususnya UKM yang mengekspor produk berukuran kecil atau ringan untuk beralih dari pengiriman jalur laut ke jalur udara. Hal ini mengingat adanya penurunan angka penumpang pesawat yang mengharuskan perusahaan penerbangan untuk tetap terbang dengan membawa muatan kargo,” kata Mendag.
Bagaimanapun, kalangan ekonom justru mengharapkan agar pemerintah tetap memperhatikan sejumlah aspek dalam mendorong ekspor UKM, termasuk ketika menerapkan usulan pengiriman barang melalui jalur udara sebagai solusi atas biaya pengapalan yang tinggi.
Saham Pengembang Properti Mulai Mengembang
Saham emiten pengembang properti mulai mengembang kendati sikap hati-hati investor masih membayangi. Simak uraian lengkapnya.
Sejalan dengan optimisme sejumlah emiten untuk mencapai target prapenjualan pada 2021, indeks saham emiten properti mulai mengembang pada kuartal III/2021 kendati performanya masih dibayangi sikap hati-hati investor.
Berdasarkan data Bloomberg, indeks IDX Sector Properties & Real Estate menguat 4,96 persen pada kuartal III/2021. Kendati demikian, sejak awal tahun indeks ini masih turun 13,51 persen.
Indeks IDX Sector Properties & Real Estates menunjukkan kinerja yang lebih rendah dibandingkan dengan indeks harga saham gabungan (IHSG) yang tumbuh 4,18 persen dalam 9 bulan tahun ini.
Penguatan saham properti dalam 3 bulan terakhir tak lepas dari realisasi kinerja pengembang yang bangkit dari keterpurukan dampak pandemi sejak 2020.
Dengan sejumlah stimulus, baik dari sisi fiskal maupun moneter, prapenjualan emiten properti mulai naik pada tahun ini.