Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Tarif Royalti Ekspor Batu Bara Harus Lihat Kemampuan Perusahaan

Tingginya tarif royalti akan meningkatkan biaya produksi sehingga cadangan batu bara yang masih berada di lapisan bawah tidak lagi menjadi ekonomis untuk ditambang.
Alat berat beroperasi di kawasan penambangan batu bara Desa Sumber Batu, Kecamatan Meureubo, Aceh Barat, Aceh, Rabu (8/7/2020). ANTARA FOTO/Syifa Yulinnas
Alat berat beroperasi di kawasan penambangan batu bara Desa Sumber Batu, Kecamatan Meureubo, Aceh Barat, Aceh, Rabu (8/7/2020). ANTARA FOTO/Syifa Yulinnas

Bisnis.com, JAKARTA — Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) menilai pemerintah perlu mempertimbangkan kemampuan perusahaan batu bara dalam menetapkan besaran tarif royalti ekspor di tengah tantangan tren pelemahan harga komoditas batu bara.

Pemerintah tengah menyusun rancangan peraturan pemerintah mengenai perpajakan dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) di bidang usaha pertambangan batu bara.

Salah satu ketentuan yang akan diatur di dalamnya adalah mengenai royalti atau dana hasil produksi batu bara (DHPB) untuk perusahaan pemegang Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) sebagai perpanjangan operasi Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B).

Terkait dengan ketentuan royalti tersebut, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral mengusulkan untuk memberlakukan tarif royalti berjenjang mengacu pada Harga Batu Bara Acuan (HBA) terhadap komoditas batu bara yang diekspor.

Direktur Eksekutif APBI Hendra Sinadia mengatakan bahwa bila royalti ekspor yang dipatok terlalu tinggi dan pasar domestik tidak dapat menyerap produksi batu bara dalam negeri, perusahaan batu bara akan kesulitan menutup biaya produksi dan royalti pada saat harga batu bara turun.

"Dalam kondisi tersebut perusahaan cenderung untuk menurunkan stripping ratio sehingga menyebabkan cadangan batu bara yang dapat ditambang menjadi semakin berkurang yang juga merugikan negara atau alternatif lain perusahaan bisa memilih untuk menghentikan produksi. Akibatnya penerimaan negara turun, devisa ekspor turun, dan akibatnya akan berdampak terhadap berkurangnya lapangan kerja, serta berpengaruh terhadap perekonomian daerah dan nasional," ujar Hendra kepada Bisnis, akhir pekan lalu.

Dia menuturkan bahwa tingginya tarif royalti akan meningkatkan biaya produksi sehingga cadangan batu bara yang masih berada di lapisan bawah tidak lagi menjadi ekonomis untuk ditambang.

Menurunnya cadangan batu bara yang ekonomis akan membuat umur tambang menjadi lebih pendek dan dapat mengancam keberlanjutan pasokan batu bara untuk keperluan pembangkit listrik dalam negeri, termasuk juga pasokan untuk program peningkatan nilai tambah di masa datang.

Akan lebih bijaksana kalau pemerintah dalam membuat kebijakan fiskal, termasuk royalti ekspor ini melihat secara holistik dan komprehensif. Bukan hanya penerimaan pajak atau PNBP semata, melainkan juga kontribusi yangg lain, seperti devisa ekspor, lapangan kerja, pengembangan wilayah di daerah dan ketahanan suplai batu bara padai masa datang dan juga melihatnya secara jangka panjang agar usaha tambang batu bara bisa dapat bertahan dan terus berkontribusi bagi pembangunan secara berkelanjutan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Editor : Zufrizal
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper