Bisnis.com, JAKARTA - Petani kelapa sawit meminta pemerintah untuk menunda pengenaan bea keluar sawit agar tidak menjadi beban tambahan, setelah tarif Pungutan Dana Perkebunan atas Ekspor Sawit dinaikkan.
"Kami telah mengusulkan kepada pemerintah supaya bea keluar sawit sementara dinolkan atau ditunda terlebih dahulu agar tidak menjadi beban tambahan yang menyebabkan tertekannya harga di tingkat petani," kata Ketua Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Gulat M.E. Manurung kepada Bisnis, Senin (7/12/2020).
Gulat mengaku telah menyurati Presiden Joko Widodo pada 30 November 2020 untuk menunda kenaikan bea keluar sati dan produk turunannya.
Pungutan Dana Perkebunan atas Ekspor Sawit, dan bea keluar merupakan dua pungutan yang dikenakan atas ekspor kelapa sawit, crude palm oil, dan produk turunannya.
Besaran tarif Dana Perkebunan atas Ekspor Sawit dikenakan berdasarkan harga crude palm oil. Kementerian Keuangan baru-baru ini menaikkan tarif pungutan. Berdasarkan PMK N0. 191/PMK.05/2020, pungutan ekspor CPO dengan harga di bawah atau sama dengan US$670 ton dikenai tarif US$55 per ton. Tarif pungutan ini akan dinaikkan US$15 per ton setiap kenaikan harga CPO US$25 per ton.
Sementara itu, bea keluar diwacanakan akan dinaikkan setelah penaikan tarif Pungutan Dana Perkebunan atas Ekspor Sawit. Sejauh ini, bea keluar dikenakan jika harga CPO telah lebih dari US$750 per ton.
Baca Juga
Gulat menilai kenaikan tarif ekspor CPO sudah cukup dan tidak perlu ditambah dengan penaikan bea keluar. Pasalnya, kenaikan DP tersebut sudah akan menekan harga tandan buah segar (TBS) petani. "Kalau untuk [kenaikan] DP kami mendukung, karena memang berkat pungutan ekspor inilah harga TBS petani terjaga melalui [industri] biodiesel."
Gulat berpendapat kenaikan tarif pungutan ekspor sawit merupakan keniscayaan untuk menyelamatkan industri biodiesel nasional. Pasalnya, sebanyak 9,5 juta ton CPO akan terbengkalai jika industri tersebut terbengkalai.
Sementara itu, bea keluar merupakan penerimaan negara yang masuk ke dalam kas negara. Penaikan bea keluar sawit dinilainya akan menekan permintaan ekspor secara signifikan.
Gulat mencatat harga TBS telah menembus level Rp2.100 per Kilogram dari posisi tahun lalu sekitar Rp1.500 per Kilogram. Menurutnya, angka tersebut akan terus tumbuh pada 2021 dengan adanya peluncuran program B40 oleh pemerintah.
Gulat menyatakan tujuan dari penundaan kenaikan bea keluar sawit adalah agar pasar dapat mengunci harga bawah TBS petani di level Rp2.100 per Kilogram.
"Kalau prediksi saya, [harga] TBS petani kelapa sawit akan mendekati Rp2.500 per Kilogram. Apalagi tahun depan akan launching program B40. Harga TBS petani seja ada [program] biodiesel tidak pernah di bawah Rp1.500 per Kilogram lagi," katanya kepada Bisnis, Jumat (27/11/2020).
Walakin, Gulat menyatakan pertumbuhan ekspor CPO pada 2021 hanya akan tumbuh melambat sekitar 1-5 persen dari realisasi 2020. Menurutnya, hal tersebut disebabkan oleh adanya pemulihan perekonomian global dari pandemi Covid-19.
Gulat menilai peningkatan ekspor CPO yang terjadi sepanjang 2020 disebabkan oleh diberlakukannya protokol lockdown di negara produsen CPO, salah satunya Malaysia. Alhasil, produktivitas perkebunan kelapa sawit Negeri Jiran merosot lantaran kekurangan tenaga kerja untuk memanen kelapa sawit.