Bisnis.com, JAKARTA — Perpanjangan restrukturisasi kredit menjadi kesempatan bagi perbankan dan debitur untuk mempersiapkan pertumbuhan pada tahun depan, setelah kinerja sektor keuangan pada tahun ini diprediksi landai lantaran pandemi Covid-19.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyebutkan bahwa hingga akhir Oktober 2020, terdapat 100 bank yang telah mengimplementasikan restrukturisasi kredit. Relaksasi itu mengacu pada POJK Nomor 11/2020 yang telah diperpanjang hingga Maret 2022 dari sebelumnya Maret 2021.
Otoritas mencatat restrukturisasi kredit melibatkan 7,53 juta debitur dengan total outstanding senilai Rp932,6 triliun. Dari jumlah itu, sebanyak 5,84 juta atau 78% dari total debitur berasal dari segmen usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) dengan nominal Rp369,8 triliun.
Heru Kristiyana, Kepala Eksekutif Pengawasan Perbankan OJK mengatakan, restrukturisasi ini diharapkan mampu memberikan ruang bagi perbankan untuk menata arus kas (cash flow), selain itu debitur juga berkesempatan menata usahanya untuk memenuhi kewajiban. Perpanjangan POJK, katanya, merupakan kombinasi dari stimulus kebijakan dengan tetap memberikan penekanan pada asas kehati-hatian (prudential). Manajemen risiko pun harus menjadi salah satu pertimbangan perbankan dalam menerapkan perpanjangan restrukturisasi.
Sumber: Otoritas Jasa Keuangan
“Saya kira ini (restrukturisasi) paling gede sepanjang sejarah saya mengasuh bank dari Bank Indonesia hingga di OJK sekarang,” katanya dalam Forum Diskusi Finansial bertajuk Manfaat Perpanjangan Relaksasi Restrukturisasi Kredit Bagi Pemulihan Ekonomi yang diselenggarakan Bisnis Indonesia, Jumat (20/11).
Baca Juga
Heru menjelaskan, terdapat tiga pertimbangan utama OJK untuk memperpanjang restrukturisasi kredit hingga Maret 2022. Pertama, kasus paparan Covid-19 di Tanah Air dan dunia masih terus bertambah. Kehadiran vaksin bakal sangat menolong, tetapi masih terkendala distribusi bertahap alias butuh waktu.
Kedua, sebagai langkah antisipatif dampak Covid-19 yang masih berlanjut. OJK menilai relaksasi akan membantu debitur terdampak Covid-19 yang masih memiliki prospek usaha tetapi memerlukan waktu lebih panjang untuk kembali normal.
Ketiga, keselarasan dengan program pemerintah untuk menangani Covid-19 secara multiyears yang diprediksi akan melewati 2021. Dengan begitu banyak nasabah yang mendapatkan restrukturisasi, OJK juga mewaspadai potensi penurunan kualitas kredit (loan at risk/LaR).
Sumber: Otoritas Jasa Keuangan
OJK, kata Heru, tidak hentihentinya meminta perbankan untuk meningkatkan Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN) agar bank memiliki bantalan yang kuat untuk menghadapi nasabah yang tidak berhasil restruktrukturisasi saat masa POJK itu berakhir.
“Restrukturisasi ini nanti tentu akan meningkatkan non-performing loan [NPL] kalau tidak berhasil, kalau berhasil NPL tertekan ke bawah. Kalau NPL meningkat, bantalan modal kita juga turun,” paparnya.
Heru menambahkan, perpanjangan restrukturisasi juga membutuhkan dukungan dari sisi fiskal seperti subsidi bunga hingga kebijakan makro ekonomi dari Bank Indonesia. Sinergi antara regulator sektor keuangan akan terus ditingkatkan untuk bersamasama menghadapi dampak pandemi Covid-19.
Langkah Tepat
Direktur Utama PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. Darmawan Junaidi mengatakan bahwa kebijakan OJK memperpanjang restrukturisasi kredit merupakan langkah yang tepat, karena sangat bermanfaat bagi bank dan debitur.
“Bagi bank, yang menjadi perhatian utama bukan hanya demand yang menurun, tapi juga kami harus mengelola kualitas aset lebih cermat karena akan mempengaruhi likuiditas perbankan dan permodalan,” katanya. Darmawan memprediksi ekonomi nasional akan mengalami pemulihan secara bertahap pada 2021. Dari kajian Mandiri Institute, beberapa sektor yang diprediksi pulih lebih awal, antara lain FMCG, makanan dan minuman, industri retail yang kondisinya mulai membaik pada kuartal III/2020.
Menurutnya, pada tahun ini pertumbuhan ekonomi diprediksi negatif tetapi tahun depan akan bergerak naik, sehingga perpanjangan POJK 11/2020 sampai dengan Maret 2022 menjadi langkah yang tepat.
Darmawan menambahkan, Bank Mandiri terus memperkuat modal di mana pada September 2020 Capital Adequacy Ratio/CAR berada pada level 19,83%, naik dari posisi kuartal I/2020 yang 17%. Kondisi likuiditas Bank Mandiri juga berada pada level 83%, sehingga sangat siap untuk berekspansi.
Sumber: Otoritas Jasa Keuangan
“Memang tidak ada kewajiban menambah CKPN, tapi kami lebih prudent, tidak hanya CKPN business as usual, kami juga buat CKPN khusus untuk debitur restrukturisasi sehingga ketika POJK berakhir, tidak akan mengganggu kebutuhan modal untuk ekspansi.”
Darmawan memaparkan, mayoritas nasabah Bank Mandiri adalah korporasi yang aksinya masih tertahan karena melakukan konsolidasi. Hal itu terlihat dari perlambatan kredit perseroan yang dialami pada Juni 2020 kredit Bank Mandiri tumbuh 5,8%, sedangkan pada September tahun ini melambat ke level 3%.
“Ini juga mungkin tren yang akan berlanjut hingga akhir tahun. Artinya, kalau demand belum muncul sementara portofolio kami sebagian besar di korporasi, ini permintaannya belum meningkat, mungkin kami tidak tumbuh negatif tahun ini,” katanya.
Sementara itu Aviliani, Ketua Bidang Kajian dan Pengembangan Perbanas memperkirakan pertumbuhan kredit perbankan pada 2021 berada pada level 3%. Pertumbuhan kredit sudah merupakan suatu catatan yang bagus karena masih dalam fase pemulihan ekonomi.
“Tahun depan kira-kira pertumbuhan kredit 3%, itu sudah bagus untuk tahun depan,” jelasnya.
Aviliani menjelaskan, asumsi pertumbuhan kredit itu bertolak dari pertumbuhan ekonomi nasional pada 2021 yang diperkirakan pada level 3% oleh sejumlah lembaga konservatif. Asumsi pertumbuhan itu dibuat dengan pengandaian distribusi vaksin pada tengah tahun depan telah lebih dari 50% persen dari total penduduk.
Pemulihan ekonomi, katanya, baru bisa dianggap recovery pada pertengahan 2022 di mana aktivitas masyarakat mulai normal. Kebijakan OJK memperpanjang relaksasi kredit pun menjadi langkah yang positif, karena butuh proses sekaligus menjadi kesempatan bank mempersiapkan CKPN.
Menurutnya, kebijakan yang dilahirkan regulator keuangan sudah sangat baik. Bank Indonesia misalnya telah menurunkan suku bunga ke level 3,75%, sedangkan OJK mengeluarkan sejumlah kebijakan stimulus.
Tantangan pada tahun depan, jelasnya, berada pada sisi permintaan atau demand side. Untuk menggerakan sisi permintaan ini, peran pemerintah melalui belanja APBN akan sangat penting.
Aviliani menyayangkan langkah pemerintah yang memangkas Bantuan Langsung Tunai (BLT) pada tahun depan menjadi Rp 100 triliun dari semula Rp200 triliun. Padahal, tahun depan merupakan periode pemulihan ekonomi yang harus melibatkan masyarakat.
“Karena dengan pertumbuhan 3% atau 4%, penyerapan tenaga kerja itu secara langsung, itu enggak,”katanya.
Dia menambahkan, pemerintah harus bisa mulai belanja sejak awal tahun pada 2021, karena belanja pemerintah pada tahun ini tidak akan 100% alias diperkirakan berada pada kisaran 70% hingga 80% saja.
“Jadi menurut saya motor penggerak harus dari pemerintah duluan,” katanya.
Aviliani melanjutkan, salah satu belanja pemerintah paling besar tahun depan adalah infrastruktur yang menyentuh Rp400 triliun. Jika pembangunan infrastruktur itu berjalan, maka akan melahirkan banyak efek berantai.
Dia menyebutkan, saat ini menjadi kesempatan yang baik bagi perbankan untuk mempersiapkan diri melakukan ekspansi pada tahun depan jika pemerintah mampu menjadi motor penggerak sejak Januari 2021.