Bisnis.com, JAKARTA – Tingkat okupansi hotel yang melonjak di sejumlah daerah destinasi wisata pada momen libur panjang akhir Oktober 2020 dinilai menambah daya tahan pelaku usaha sektor perhotelan. Namun, hal itu belum mampu memberikan efek signifikan dari segi pendapatan perhotelan.
Wakil Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Maulana Yusran mengatakan kenaikan tingkat okupansi yang tejadi pada periode libur panjang sejak 28 Oktober - 1 November 2020 hanya mampu menambah daya tahan sektor perhotelan untuk tetap beroperasi.
"Sektor perhotelan menghadapi low season yang benar-benar dalam sejak Maret 2020 dengan tingkat okupansi anjlok hingga single digit. Hal tersebut mengurangi daya tahan dan peningkatan okupansi selama long weekend cukup membantu mereka untuk bertahan ketika memasuki weekdays," ujar Maulana kepada Bisnis, Kamis (29/10/2020).
Tidak hanya long weekend, lanjut Maulana, daya tahan pelaku usaha perhotelan juga cukup terbantu oleh tren okupansi di akhir pekan biasa yang mulai bergerak di jalur positif.
Dia mengungkapkan, tingkat okupansi hotel di daerah-daerah destinasi wisata seperti Bogor, Bandung, Yogyakarta, termasuk Bali, bisa berada di kisaran 40-50 persen atau sekitar 20 persen lebih tinggi dari tingkat penghunian hotel secara nasional pada Agustus 2020 lalu.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat penghunian kamar hotel berbintang pada Agustus lalu adalah 32,93 persen, turun 16,24 persen dari Januari 2020.
Baca Juga
Namun, lanjut Maulana, kenaikan okupansi hotel pada masa libur panjang ini bersifat sementara dan akan disusul dengan penurunan yang diperkirakan sangat dalam ketika memasuki momen weekdays.
"Kenaikan okupansi hotel pada saat libur panjang bersifat temporary dan akan disusul dengan drop habis-habisan ketika weekdays," jelasnya.
Sementara itu, kata Maulana, untuk kegiatan kunjungan bisnis yang biasa mengisi gap wisatawan pada masa weekdays mengalami perubahan sejak pandemi melanda dan tidak banyak memberikan kontribusi.
Dia mengatakan kegiatan kunjungan bisnis tidak memberikan efek yang signifikan bagi sektor perhotelan. Pasalnya, tidak sedikit hotel-hotel yang belum mengaktifkan ballroom sebagai tempat kegiatan tersebut dilaksanakan serta masih dilakukannya efisiensi dengan mengurangi penggunaan listrik.
Selain itu, kenaikan angka okupansi hotel masih ditekan oleh harga rata-rata kamar hotel yang rendah. Maulana mengungkapkan harga rata-rata kamar hotel di daerah-daerah destinasi wisata saat ini 20-30 persen lebih rendah dibandingkan dengan masa normal.
Bahkan, lanjutnya, harga kamar hotel saat ini bisa berada di bawah 50 persen dari harga normal.
"Kenaikan okupansi belum bisa dijabarkan sebagai kenaikan yang nyata, karena average room rate-nya masih rendah. Harga kamar masih rendah. Kalau diperhatikan, harga kamar hotel jauh di bawah harga normal," tuturnya.
Terpisah, berdasarkan laporan Asosiasi Perusahaan Perjalanan Pariwisata (Asita), pemesanan kamar hotel di sejumlah daerah seperti kawasan Puncak Bogor, Bandung, Yogyakarta, dan Pangandaran, yang sebagian besar dilakukan via platform daring, melonjak hingga mencapai 90-100 persen.