Bisnis.com, JAKARTA - Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Makro dan Keuangan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Iskandar Simorangkir menilai deflasi selama tiga bulan yang tercermin dari turunnya harga kelompok makanan karena panen dan angkutan udara bukan hal yang sepenuhnya negatif.
Seperti diketahui, deflasi telah terjadi selama tiga bulan berturut-turut. Deflasi terjadi pada Juli sebesar 0,10 persen, Agustus 0,05 persen, dan September 0,05 persen.
“Sementara inflasi inti yang mencerminkan aggregate demand [permintaan agregat] masih 0,13 persen atau masih meningkat,” katanya saat dihubungi Bisnis.com, Kamis (1/10/2020).
Iskandar mengakui bahwa penerapan pembatasan sosial berskala besar membuat aktivitas ekonomi terhambat. Kegiatan terbatasi karena harus mengikuti protokol kesehatan.
“Di tengah supply yang melimpah dan aggregate demand masih meningkat sedikit, maka wajar terjadi deflasi 0,05 persen,” jelasnya.
Dia mengakui bahwa 2020 adalah tahun yang berat. Pemerintah tidak bisa menancap gas roda perekonomian karena harus mengendalikan aspek kesehatan.
“Tapi ketika vaksin sudah mulai disuntikkan awal 2021 dan RUU cipta kerja disahkan, maka produksi dan investasi secara bertahap akan meningkat,” ucapnya.
Lalu dengan percepatan realisasi anggaran pendapatan dan belanja negara serta pemulihan ekonomi nasional, Iskandar optimistis ekonomi bisa tumbuh 5 persen pada 2021. Di samping masyarakat juga tetap menjaga diri dari penularan Covid-19.
Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suhariyanto sebelumnya menegaskan tren penurunan inflasi inti pada bulan September 2020 dipengaruhi oleh penurunan dari sisi permintaan akibat pandemi Covid-19.
Dia mengingatkan tren inflasi inti yang turun sejak Maret 2020 harus diwaspadai karena hal ini menunjukkan kondisi daya beli yang rendah.
"Ini menunjukkan daya beli kita masih sangat lemah. Itu yang perlu diwaspadai," ujar Kepala BPS, Kamis (1/10/2020).