Bisnis.com, JAKARTA - Selain bertentangan dengan prinsip otonomi daerah, perubahan rezim perizinan dalam rancangan undang-undang (RUU) Cipta Kerja (CK) berpotensi menggerus kemandirian fiskal pemerintah daerah.
Apalagi dalam beleid yang pembahasannya sedang dikebut oleh pemerintah dan DPR itu semua klausul perizinan akan ditarik ke pusat. Kendati nantinya kembali didelegasikan ke daerah, namun ruang bagi daerah untuk mengoptimalkan pendapatan makin terbatas.
Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia tak membantah adanya potensi menurunnya pendapatan daerah dari sektor perizinan. Pemerintah pusat, kata Bahlil, juga telah menghitung besaran dampak pelaksanaan omnibus law ke pendapatan daerah.
"Kalau tidak salah, oleh Menteri Keuangan berapa kehilangan pendapatan yang ketika ditarik ke pusat dan daerah mendapat apa, menkeu sudah menghitung," kata Bahlil, Selasa (8/9/2020).
Bahlil menambahkan bahwa kompensasi yang diberikan kepada daerah bisa berwujud dana perimbangan atau dalam bentuk transfer lainnya. Hanya saja, soal besarannya dia mengaku belum mengetahui angka pastinya.
"Berapa nilainya, akan saya cek nilai pastinya," ungkapnya.
Baca Juga
Dalam catatan Bisnis, pendelegasian kewenangan dari pusat ke daerah menjadi poin utama kebijakan politik pasca Orde Baru. Salah satu pelaksanaanya adalah lahirnya konsep otonomi daerah dan
Undang-Undang No.32/2004 tentang Pemerintahan Daerah lahir. Substansi UU itu memberikan jalan kepada pemerintah daerah untuk menjalankan otonomi seluas-luasnya, dengan harapan peningkatan kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum, dan daya saing daerah bisa segera terealisasi.
Namun setelah hampir 15 tahun berjalan, pelaksanaan otonomi daerah mulai dipertanyakan. Ketidakpastian timbul. Tujuan-tujuan untuk mempercepat kesejahteraan di bawah rezim desentralisasi tak sepenuhnya tercapai.
Data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dari 2004 - 2018 bahkan menunjukkan sebanyak 121 kepala daerah terjerat kasus rasuah. Kasus yang menjerat para kepala daerah juga sejalan dengan keluhan para investor yakni terkait penyuapan, perizinan, pungutan, hingga penyalahgunaan anggaran.
"Persepsi korupsi masih tinggi juga, pengusaha ini kalau izinnya baik tanpa harus pakai cara yang elok, itu mereka lebih senang," tegasnya.