Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Pak Mendag Agus, Ini Saran Asosiasi agar Olahan Kelapa Sawit Indonesia Laku

Pandemi Covid-19 membuat permintaan minyak nabati dunia anjlok.
Petugas mengisi bahan bakar B30 ke kendaraan saat peluncuran uji jalan Penggunaan Bahan Bakar B30 untuk kendaraan bermesin diesel di halaman Kementerian ESDM, Jakarta, Kamis (13/6/2019). Uji jalan kendaraan berbahan bakar campuran biodiesel 30 persen pada bahan bakar solar atau B30 dengan menempuh jarak 40.000 dan 50.000 kilometer tersebut bertujuan untuk mempromosikan kepada masyarakat bahwa penggunaan bahan bakar itu tidak akan meyebabkan performa dan akselerasi kendaraan turun./Antara - Aprillio Akb
Petugas mengisi bahan bakar B30 ke kendaraan saat peluncuran uji jalan Penggunaan Bahan Bakar B30 untuk kendaraan bermesin diesel di halaman Kementerian ESDM, Jakarta, Kamis (13/6/2019). Uji jalan kendaraan berbahan bakar campuran biodiesel 30 persen pada bahan bakar solar atau B30 dengan menempuh jarak 40.000 dan 50.000 kilometer tersebut bertujuan untuk mempromosikan kepada masyarakat bahwa penggunaan bahan bakar itu tidak akan meyebabkan performa dan akselerasi kendaraan turun./Antara - Aprillio Akb

Bisnis.com, JAKARTA – Produk olahan kelapa sawit dari Indonesia membutuhkan pasar baru seiring pandemi Covid-19 dan kelebihan produksi.

Ketua Umum Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) Sahat Sinaga menyebutkan nilai ekspor minyak nabati pada akhir tahun ini akan tumbuh dua digit secara tahunan. Namun demikian, jumlah volume olahan kelapa sawit untuk ekspor akan menurun. 

"Harga di pasar semakin lama semakin naik. Sekarang ini yang kami jual produk-produk hilir. Dari segi industri, kami makin bagus," ujar Ketua Umum GIMNI Sahat Sinaga kepada Bisnis, Jumat (17/07/2020)

Badan Pusat Statistik (BPS) mendata nilai ekspor lemak dari minyak hewan/nabati pada semester I/2020 naik 10,33 persen menjadi US$8,9 miliar. Adapun, ekspor pos tarif tersebut berkontribusi hinga 12,34 persen dari total ekspor nasional pada paruh pertama 2020. 

Sahat meramalkan nilai ekspor hingga akhir tahun akan terjaga dan tumbuh sekitar 12-15 persen secara tahunan. Namun demikian, volume ekspor akan anjlok 7-8 persen. 

Selain disebabkan ekspor tersebut disebabkan oleh pandemi Covid-19 dan berpotensi terjadinya oversupply produksi olahan kelapa sawit di dalam negeri.

Untuk itu, Indonesia membutuhkan pasar baru non tradisional agar harga sawit di dalam negeri hingga tingkat petani tidak anjlok. Selain memaksimalkan program minyak sawit menjadi bahan bakar atau biosolar B30. 

Sahat menyampaikan saat ini permintaan produk hilir minyak nabati sedang tinggi pada negara dengan pendapatan per kapita rendah. Sahat memberikan contoh seperti negara-negara yang ada di Afrika bagian timur. 

Menurutnya, kebanyakan negara di daerah tersebut cenderung mengimpor minyak nabati dalam produk jadi ketimbang bahan baku. Pasalnya, negara-negara tersebut tidak memiliki kilang pengolahan atau refinery pengolahan minyak sawit mentah (CPO). 

Selain itu Sahat meminta pemerintah untuk mengeratkan hubungan dagang terutama dengan Pakistan. Wilayah ini menjadi pintu masuk baru bagi Indonesia untuk menjual olahan sawit ke Asia Tengah.

Peran Pakistan karena merupakan pintu distribusi produk minyak nabati domestik ke negara-negara di Asia Tengah. Dengan kata lain, permintaan minyak nabati lokal ke Asia Tengah akan meningkat jika hubungan dagang antara Indonesia dan Pakistan membaik. 

Sahat berujar saat ini Pakistan menahan peningkatan pembelian produk hilir minyak nabati dari Indonesia. Pasalnya, defisit neraca dagang Pakistan terhadap Indonesia cukup besar. 

"Kalau bisa dialihkan [sebagian] impor kita ke Pakistan [sebagai imbal dagang], sehingga akan mendorong penjualan ke Asia Tengah. Besar itu [permintaan produk minyak nabati dari] Asia Tengah," ucapnya. 

Selain pasar baru, untuk meningkatkan daya saing olahan kelapa sawit Indonesia, Sahat meminta pemerintah mengurangi pajak kemasan plastik impor.

Saat ini pabrikan minyak goreng maupun produk hilir lainnya masih mengimpor kemasan plastik, khususnya untuk ukran besar 1-5 liter. Pengurangan pajak akan meningkatkan nilai bisnis olahan sawit.

Selanjutnya pemangkasan biaya handling di pelabuhan. Sahat menghitung biaya handling di pelabuhan lokal 20 persen lebih tinggi dibandingkan negeri jiran. Sementara itu, biaya handling berkontribusi sekitar 28-30 persen dari total material cost.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Andi M. Arief
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper