Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

BPK Soroti Cara Pemerintah Kelola Utang, Pengembangan SBN Dipersoalkan

Ketua BPK RI Agung Firman Sampurna mengatakan hal ini antara lain karena pengelolaan pemerintah pusat belum didukung oleh peraturan terkait dengan manajemen risiko keuangan engaran dan penerapan analisis sustainabilitas fiskal yang kommprehensif.
Ketua BPK Agung Firman Sampurna (kiri) berbincang dengan Menko Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan disela-sela \'Entry Meeting\' Pemeriksaan Laporan Keuangan Kementerian di Auditoriat Utama Keuangan Negara (AKN) IV di Kantor BPK, Jakarta, Senin (6/1/2020)./ ANTARA - M Risyal Hidayat
Ketua BPK Agung Firman Sampurna (kiri) berbincang dengan Menko Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan disela-sela \'Entry Meeting\' Pemeriksaan Laporan Keuangan Kementerian di Auditoriat Utama Keuangan Negara (AKN) IV di Kantor BPK, Jakarta, Senin (6/1/2020)./ ANTARA - M Risyal Hidayat

Bisnis.com, JAKARTA - Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI menemukan bahwa pengelolaan utang pemerintah pusat masih kurang efektif untuk menjamin biaya minimal, terkendalinya risiko, dan kesinambungan fiskal.

Ketua BPK RI Agung Firman Sampurna mengatakan hal ini antara lain karena pengelolaan pemerintah pusat belum didukung oleh peraturan terkait dengan manajemen risiko keuangan engaran dan penerapan analisis sustainabilitas fiskal yang kommprehensif.

"Hal ini berpotensi menimbulkan gangguan atas keberlangsung fiskal di masa mendatang," kata Agung, Selasa (5/5/2020).

Secara lebih rinci, BPK menemukan bahwa strategi pengembangan pasar SBN domestik masih belum meningkatkan likuiditas pasar SBN secara efektif. Hal ini terutama karena pemerintah tidak memiliki indikator yang jelas atas kebijakan pengembangan pasar SBN.

Upaya pendalaman pasar SBN dan mitigasi risiko sudden reversal dengan perluasan basis investor domestik juga masih belum sepenuhnya efektif.

Akhirnya, upaya pengembangan pasar SBN untuk mendapatkan imbal yang rendah menjadi tidak terukur dan tidak terarah. Imbal hasil yang ditawarkan oleh SBN pun akhirnya harus lebih tinggi dibandingkan negara lain.

Selain itu, pengelolaan utang pemerintah pusat masih belum menerapkan analisis sustainabilitas fiskal dan analisis sustainabilitas utang secara komprehensif.

Hal ini terutama karna pemerintah belum memiliki dasar hukum pelaksanaan manajemen risiko keuangan yang memadai dan bahkan belum memiliki analisis sustainabilitas fiskal jangka panjang yang memadai.

Pemerintah belum menyusun secara khusus terkait analisis sustainabilitas utang sehingga pertumbuhan utang tidak selaras dengan pertumbuhan penerimaan negara.

Memang, rasio utang terhadap PDB masih di bawah 60 persen, tetapi banyak rasio-rasio lain yang meleset antara lain rasio debt service to income yang menembus 35 persen pada 2018, rasio interest to income yang melampaui 10 persen sejak 2015, dan rasio dent stock to income yang menembus 150 persen sejak 2013.

Hal ini bisa menimbulkan pengambilan keputusan yang tidak berlandaskan pada pertimbangan risiko yang komprehensif dan berpotensi menggangu keberlangsungan fiskal ke depan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Muhamad Wildan
Editor : Hafiyyan
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper