Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Investasi Mahal, Belum Ada Harapan Obat Corona Diproduksi Industri Dalam Negeri

Riset pengembangan obat Covid-19 merupakan kelanjutan pengembangan dari riset wabah terdahulu seperti Ebola, Sars, dan lainnya yang sudah lama dilakukan.
Pedagang obat melayani pembeli di Pasar Pramuka, Jakarta, Selasa (11/02/2020). Bisnis/Eusebio Chrysnamurti
Pedagang obat melayani pembeli di Pasar Pramuka, Jakarta, Selasa (11/02/2020). Bisnis/Eusebio Chrysnamurti

Bisnis.com, JAKARTA —Kesiapan industri farmasi melakukan investasi riset dan pengembangan obat untuk pasien virus corona masih menjadi masih belum terlihat.

Direktur Eksekutfi Gabungan Pengusaha Farmasi (GP Farmasi) Dorojatun Sanusi mengatakan tantangan melakukan riset tidak hanya terjadi pada industri dalam negeri. Industri farmasi besar skala Internasional pun juga masih terbatas dan terkadang tidak memiliki progres yang cukup baik.

"Dalam riset ini ada sumber daya dan sumber dana yang dibutuhkan belum lagi proses pembuktian. Saat ini saya kira baru Gilead Science yang paling cepat berhasil membawa obat ke pasar," katanya kepada Bisnis, Senin (20/4/2020).

Gilead Science Inc, adalah perusahaan raksasa farmasi di Amerika Serikat yang belum lama ini dikabarkan mulai membawa harapan dengan berhasilnya pelaksanaan uji coba obat Remdesivir ke pasien Covid-19 di rumah sakit universitas Chicago.

Merujuk laporan yang dirilis The Wall Street Journal, sejulam perusahaan besar farmasi kelas Internasional itu telah memetakan garis waktu penanganan pandemi Covid-19 ini.

Ringkasnya, obat untuk penangannya Covid-19 paling cepat akan dirilis pada akhir bulan ini, kemudian antibodi untuk membersihkan virus dalam tubuh menyusul dirilis pada Juni, dan vaksin pada Februari 2020.

Dorojatun mengemukakan nantinya jika obat sudah diproduksi dan diedarkan masal tentu ada semacam hak paten yang harus dipenuhi oleh produsen lain jika ingin turut memproduksi.

Pasalnya riset pengembangan obat Covid-19 merupakan kelanjutan pengembangan dari riset wabah terdahulu seperti Ebola, Sars, dan lainnya yang sudah lama dilakukan.

"Kalau nantinya untuk produksi di dalam negeri tentu menyangkut pertimbangan inovatornya. Mereka memberi hak paten tidak tetapi ini seharusnya bisa ditempuh dengan berbagai kebijakan," ujarnya.

Sementara itu, hingga saat ini di dalam negeri pasien covid-19 masih menggunakan sejumlah obat alternatif seperti Chloroquin dan Oseltamivir. Dorojatun menyebut untukh GP Farmasi memang tidak ada penugasan khusus jumlah produksi.

Namun, saat ini pihaknya juga turut menyediakan Choloroquin yang ditujukan untuk donasi pada rumah sakit (RS) yang membutuhkan.

"Kemarin Kimia Farma produksi 3 juta Chloroquin, kami pun sekitar itu dan sifatnya untuk donasi bukan hanya pada RS rujukan," ujarnya.

Sisi lain, ditanya terkait proyeksi, Dorojatun pun enggan menduga-duga selesainya covid-19 di Indonesia ini. Menurutnya, sudah banyak proyeksi dan riset untuk covid19 ini dan tidak sedikit yang memiliki dasar jelas.

Menurutnya, GP Farmasi hanya dapat berkomitmen untuk menjamin produksi obat yang dapat didistribusikan secara merata dan berkesinambungan baik untuk covid-19 dan khususnya untuk JKN. Hal itu mengingat kebutuhan untuk penyakit kronis dan lainnya masih terus berjalan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper