Bisnis.com, JAKARTA – Suasana Terminal Induk Bekasi Jumat sore itu tak seperti biasanya. Di sebelah utara, jalur pemberangkatan bus kota hanya terlihat satu unit bus Mayasari Bakti AC 25 rute Bekasi-Tanjung Priok yang dikemudikan oleh Asep.
Asep bersama sejumlah rekannya menjadi satu dari segelintir awak bus Mayasari Bakti yang masih menjalankan kendaraan angkutan umum di tengah pandemi Covid-19. Adapun sisanya memilih untuk tidak beroperasi lantaran nyaris tak ada penumpang.
Mereka yang masih menjalankan kendaraannya pun harus pintar-pintar menyiasati keadaan. Mulai dari ngetem lebih lama hingga menyusuri jalan arteri, alih-alih masuk ke tol dalam kota membayar Rp10.000 seperti biasanya.
“Cuma sedikit [yang beroperasi], lainnya sudah nggak kuat. Hari biasa saja sudah berat apalagi ada corona begini,” ungkapnya.
Asep sedikit beruntung dibandingkan dengan rekan sejawatnya yang melayani rute-rute perkantoran Jakarta seperti Jl. Jenderal Sudirman, Jl. MH. Thamrin, atau Jl. TB Simatupang.
Pasalnya, masih ada penumpang langganan yang setiap harinya harus datang ke sejumlah pabrik di kawasan Jakarta Utara, alih-alih bekerja dari rumah.
"Saya mending masih kuat narik [karena] ada penumpangnya. Teman-teman AC 05 (rute Bekasi-Blok M) sudah stop enggak kuat lama-lama, sepi terus," tuturnya.
Namun, sudah barang tentu pendapatannya jauh berkurang dibandingkan biasanya. Bahkan tak jarang pula dia pulang dengan tangan hampa lantaran harus membayar kekurangan setoran hari sebelumnya.
“Mau jalan hari ini misalnya, harus bayar kekurangan [setoran] yang kemarin-kemarin. Ngebon (berhutang) bisa aja, tapi masa iya dikasih terus-terusan ngebon. Kerja nggak dapat apa-apa cuma nutup [setoran] aja,” keluhnya.
Asep dan rekan sejawatnya tak bisa berbuat banyak. Mereka hanya berharap ada uluran tangan dari perusahaan atau pemerintah untuk sekadar menyambung hidup seperti yang diterima oleh pengemudi ojek daring.
“Enggak ada dapat apa-apa, dari perusahaan atau pemerintah. Kita awak bus ini enggak diperhatikan kaya [pengemudi] ojol. Perusahaan apalagi, ngasih bantuan ke masyarakat tapi ke kami malah enggak,” ujarnya.
Nasib sama juga dialami oleh Udin, pengemudi angkutan kota K11 jurusan Terminal Bekasi-Bantar Gebang. Pandemi virus corona sukses membuatnya makin merana. Penumpang yang menjadi satu-satunya sumber pendapatan berkurang drastis.
Dia merasa tak ada perhatian dari pemerintah atau masyarakat kepada dirinya sebagai pekerja yang terdampak. Menurutnya, selama ini perhatian hanya tercurahkan untuk pengemudi ojek daring saja yang notabene adalah angkutan tidak resmi.
“Biasanya aja kita udah megap-megap [karena] penumpang lari ke ojol. Ini ojol sekarang masih enak, udah diperhatiin masih bisa cari duit dari [antar] makanan sama barang. Kalau kita sopir angkot mana ada,” katanya.
Apa yang dirasakan oleh Asep dan Udin diamini oleh Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan dari forum Masyarakat Transportasi Indonesia atau MTI, Djoko Setijowarno. Dia menilai pemerintah terlalu menganakemaskan pengemudi ojek daring.
Alhasil perhatian masyarakat ikut terfokus pada mereka dan akhirnya melupakan pelaku jasa angkutan lainnya yang juga terdampak pandemi Covid-19.
"Seyogyanya pemerintah, sekalipun melalui BUMN, dalam mengambil kebijakan sektor transportasi harus berlaku adil, tidak memihak hanya kepada kelompok tertentu," kata Djoko dalam keterangan tertulisnya.
Lebih lanjut ,menurut Djoko, jika ditelusuri lebih jauh, di balik operasional ojek daring ada perusahaan rintisan atau unicorn dengan valuasi mencapai triliunan rupiah. Sudah seharusnya upaya menyubsidi pengemudi ojek daring menjadi tanggung jawab mereka, bukan tanggung jawab pemerintah.
Oleh karena itu, Djoko berharap agar pemerintah juga memberikan perhatian kepada para awak angkutan lain yang juga perlu dibantu oleh di masa sulit seperti saat ini. Apalagi, menurut data dari Direktorat Angkutan Jalan Direktorat Jenderal Perhubungan Darat Kemenhub, pada 2019 terdapat 3.650 perusahaan bus/angkutan, yang merupakan gabungan dari enam jenis layanan.
Sementara itu, Sosiolog Universitas Indonesia Imam Prasodjo menilai upaya pemerintah memberikan perhatian lebih terhadap pengemudi ojek daring sudah tepat. Pasalnya, keberadaan mereka yang jumlahnya cukup besar dan berjejaring satu sama lain rawan menimbulkan konflik sosial di tengah masyarakat.
“Berangkat dari kasus debt collector yang konflik dengan para ojol akibat ketidakmampuan mereka membayar cicilan. Kalau tidak diperhatikan tentunya mereka bisa menimbulkan konflik sosial di masyarakat apalagi itu menyangkut aset atau alat produksi mereka,” katanya kepada Bisnis.
Kemudian agar tidak menimbulkan kecemburuan sosial menurut Imam pengemudi ojek online seharusnya diberdayakan untuk menyalurkan bantuan kepada elemen masyarakat lain yang sama-sama membutuhkan.
“Tidak hanya diberikan bantuan saja tapi dengan aplikasi yang ada itu diberdayakan untuk mengantarkan bantuan ke masyarakat yang membutuhkan. Daripada lewat RW seperti yang diusulkan,” ujarnya.
Adapun, sebelumnya Presiden Joko Widodo menyatakan akan memberikan bantuan sosial berupa insentif sebesar Rp600 ribu per bulan kepada 197.000 awak angkutan yang terdiri dari pengemudi bus, taksi, dan truk, tak terkecuali kernet bus dan truk. Anggaran yang disiapkan untuk bantuan tersebut sebesar Rp360 miliar.