Bisnis.com, JAKARTA — Produksi alat pelindung diri (APD) khususnya coverall mulai melimpah dan tidak sedikit yang mengacuhkan standar cara pembuatan kesehatan yang baik (CPAKB).
Sekretaris Jenderal Gabungan Alat Kesehatan Indonesia (Gakeslab) Randy H. Teguh mengatakan cara pembuatan kesehatan yang baik atau CPAKB disusun oleh Kementerian Kesehatan dan menjadi acuan industri alat kesehatan (alkes) dalam melakukan usaha. Tak hanya CPAKB secara Internasional industri alkes juga memiliki ketentuan ISO13485 yang harus dipatuhi.
"Jadi kalau melihat produksi masal saat ini memang mengkhawtirkan. Jangankan APD Rp50.000 ada juga yang jutaan dengan klaim tahan bahkan untuk di Gunung Himalaya karena tahan angin dan air," katanya kepada Bisnis, Senin (13/4/2020).
Menurut Randy, prinsip pembuatan APD yang terpenting adalah bahan baku, model, dan proses produksi. Selain itu, kontrol kualitas pembuatan APD juga harus di lingkungan yang bersih dengan penjahit yang presisi.
Alhasil, meski adanya relaksasi khusus pembuatan produksi APD tentu industri alkes tetap akan berpegang teguh pada standar yang selama ini menjadi acuan.
Randy mengatakan produksi alkes yang berkaitan dengan penanganan wabah Covid-19 menjadi pendorong industri. Hal itu tergambar dari salah satu produsen APD coverall anggota Gakeslab yang biasanya hanya produksi 500 buah sekarang naik menjadi 4000-5000 buah.
Sementara itu, untuk masker, saat ini masih membutuhkan upaya G2G dari pemerintah untuk pengadaan bahan baku lapisan filternya. Pasalnya, dalam tiga bulan ke depan kebutuhan lapisan untuk filter atau meltblown akan berkisar 700-800 ton.
"Adapun kapasitas kita cuman 60 ton di dalam negeri, untuk itu kami terus minta upaya G2G dan skema subsidi agar kami yang produksi," katanya.
Sisi lain, Sekretaris Jenderal Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Rizal Tanzil Rakhman meramalkan APD akan kelebihan pasokan dalam negeri mengingat semua sudah ikut-ikutan beralih produksi.
Namun, selanjutnya usai Covid-19 ini berakhir, menurut Rizal diversifikasi tidak akan berlangsung lama.
"Khususnya dari industri TPT akan lebih menguntungkan kembali fokus pada produksi awal seperti sebelum Covid-19. Sebenarnya yang paling bisa menjadi hikmah dari kejadian ini adalah penguatan struktur ideal industri yang dalam hal ini alkes kita sangat kurang," katanya.
Rizal pun mengemukakan di dalam API, pengembangan APD selalu memperhatikan dua hal yakni anti bakteri dan water replant. Di mana peruntukannya untuk nakes yang berada di ring 2 atau tidak berhadapan langsung dengan pasien positif.
Di sisi lain, dia menyadari, berlimpahnya APD saat ini akan turut membuahkan persoalan ke depan. Salah satunya banting harga seperti yang sudah terjadi saat ini.
"Kami juga tahu kok ada APD Rp50.000, secara citra tentu industri TPT yang akan terdampak. Untuk itu pasca kondisi ini sebaiknya penguatan struktur industri alkes dapat diperhatikan," ujarnya.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) Redma Wirawasta sepakat dalam kondisi saat ini pendataan kebutuhan dari pemerintah sangat penting untuk dijadikan sebagai acuan.
"Jangan sampai di depan kondisi produksi masal APD ini akan menjadi masalah baru lagi, lalu impor masuk lagi padahal terbukti industri dalam negeri mampu memenuhi," ujarnya.