Bisnis.com, JAKARTA - Dahlan Iskan, Mantan Menteri BUMN, angkat suara menyimak kondisi penurunan harga minyak dunia akibat perpecahan dramatis antara pemimpin OPEC Arab Saudi dan mitra kunci Rusia.
Dengan kejadian itu, lantas siapa yang akan untung dan siapa yang akan buntung? Menurut perspektif Dahlan Iskan, keputusan tersebut akan membuat sejumlah negara harus meriang lantaran rendahnya harga minyak dunia seperti Rusia dan Amerika Serikat.
Pasalnya, Amerika Serikat menghasilkan minyak bumi dengan menggunakan teknologi shale gas memiliki biaya produksi US$45 per barel, sedangkan Rusia tidak bisa memproduksi minyak mentah dengan harga US$30 per barel karena mayoritas ladang minyaknya berada di tengah laut.
Adapun biaya produksi minyak mentah Arab Saudi hanya US$20 per barel. Dengan kata lain, apabila asumsi harga minyak pada level US$30 per barel, Arab Saudi masih bisa mengantongi laba US$10 per barel.
“Dengan laba US$10 per barel, dikalikan 12 juta, dikalikan 30 hari, dikalikan lagi 12 bulan. Tolong hitungkan berapa labanya [Arab Saudi] per tahun,” ujarnya.
Bagaimana dampaknya dengan negara-negara lain seperti China, dan Indonesia?
Dahlan menuturkan Indonesia akan ikut menikmati dengan subsidi BBM yang langsung hilang. Pertamina akan memiliki kesempatan kembali meraih laba jumbo apabila harga BBM telat diturunkan pemerintah.
Di sisi lain, Indonesia berpotensi kehilangan pendapatan dari bagi hasil di sektor migas. Termasuk dari pajak-pajak di sektor tersebut. Dahlan berpendapat, penurunan pendapatan pemerintah tersebut ditaksir mencapai Rp115,1 triliun. Nilai tersebut merujuk realisasi PNBP sector migas pada tahun lalu.
“Di Indonesia, biaya produksi minyak mentah itu di sekitar [asumsi] US$40 per barel, kalau harga jualnya US$30 per barel, Anda pun bisa membuat corporate decision: tutup saja,” sebutnya.
Angin sejuk juga sampai ke Negeri Tirai Bambu. Menurut Dahlan, China pastinya akan menyambut baik harga minyak yang rendah tersebut, karena kondisi ekonomi Negeri Tirai Bambu itu masih porak poranda pascaserangan virus corona.
Harga minyak dunia pada level US$30 itu merupakan yang termurah sepanjang sejarah reformasi ekonominya.
Dahlan menambahkan, dengan harga minyak US$30 per barel, ada pula sektor yang harus meringis yakni sektor energi hijau. Dia mengatakan, ibarat kaca dilempark batu, serpihannha membuat luka di mana-mana.
“Adakah ini hanya drama satu babak? Ataukah perang Baratayudha dengan lakon MbS Tiwikrama?” tutupnya.