Bisnis.com, JAKARTA - Keputusan Amerika Serikat (AS) untuk menaikkan status Indonesia dari negara berkembang menjadi negara maju akan berdampak negatif pada kinerja ekspor dalam negeri tahun ini.
Pasalnya, kenaikan status ini akan membuat Indonesia tidak lagi dapat menikmati perlakuan khusus (Special Differential Treatment) dari AS berdasarkan standar-standar yang ditetapkan oleh World Trade Organization (WTO).
Peneliti Ekonomi Universitas Kebangsaan RI Eric Sugandi menilai AS melihat bahwa status negara berkembang membuat produk-produk Indonesia tidak bersaing dengan adil dengan produk-produk AS di pasar domestik AS.
Dengan perubahan status ini, AS bisa menerapkan tarif impor yang lebih tinggi untuk produk-produk ekspor Indonesia tersebut.
"Kebijakan ini bisa berdampak negatif pada kinerja ekspor Indonesia pada tahun ini, bersamaan dengan resiko turunnya ekspor Indonesia ke RRT, Jepang, dan Singapura akibat virus corona," papar Eric, Senin (24/2/2020).
Sebelumnya, Menko Perekonomian Airlangga Hartarto mengungkapkan Indonesia tidak perlu khawatir dengan kebijakan AS tersebut.
Kepala Ekonom PT Bank Mandiri Tbk. Andry Asmoro mengungkapkan pihaknya kebijakan ini bisa memperburuk posisi neraca perdagangan Indonesia, sehingga memperbesar defisit neraca berjalan (CAD).
"Meskipun penerapannya masih di awang-awang, hal itu dapat membuat barang-barang ekspor Indonesia ke AS akan dikenakan tarif yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan barang-barang yang diekspor dari negara-negara berkembang lainnya.
Pada 2019, Indonesia mencatat surplus perdagangan hingga US$9,6 miliar dengan AS. Dengan adanya sentimen ini dan wabah virus corona, Andry memperkirakan defisit transaksi berjalan pada 2020 dapat melebar menjadi 2,88 persen dari 2,72 persen pada 2019 lalu.