Bisnis.com, JAKARTA – Relatif terisolasi dari dampak Brexit, ekonomi Indonesia diperkirakan tumbuh moderat dari tahun lalu, yaitu pada kisaran 5,1 persen.
Kepala Ekonom PT Bank negara Indonesia Tbk. (BNI) Ryan Kiryanto mengatakan sejumlah lembaga dunia yakni IMF, Bank Dunia dan beberapa lembaga lain memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2020 di level moderat, yakni 5,1 persen.
Angka ini sedikit lebih baik dibanding realisasi 2019 yang berkisar 5,03 persen-5,05 persen. Adapun proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia tersebut cukup tinggi di tengah koreksi PE dunia, lantaran perekonomian RI relatif terisolasi.
Dengan kata lain posisi Indonesia terdampak terbatas dari efek tekanan eksternal seperti trade war, Brexit, dan risiko geopolitik.
“Ini karena Indonesia tidak termasuk dominant player di kancah perdagangan global. Pun Indonesia tidak terlalu terlibat aktif dalam rantai pasokan global atau global supply chain,” kata Ryan, Selasa (21/2/2020).
Atas kondisi tersebut, Indonesia relatif terpapar minimal dari perlambatan ekonomi global.
Kondisi ini berbeda dgn beberapa negara eksportir dominan seperti China, Korsel, Jepang, AS yang terdampak lebih besar karena perlambatan ekonomi global, apapun penyebabnya.
Adapun keberuntungan Indonesia adalah memiliki modal besar berupa pasar domestik yang terjaga kuat dgn kontribusi konsumsi rumah tangga (KRT) sekitar 56 persen sampai 57 persen terhadap total PDB Indonesia.
Pada saat yang sama kebijakan moneter dan makroprudensial oleh Bank Indonesia yang akomodatif dan pro pertumbuhan cukup menopang pertumbuhan ekonomi.
“Begitu pun dengan kebijakan fiskalnya yang dinilai banyak pihak mulai condong ke arah counter-cyclical yakni responsif dan antisipatif pada pro pertumbuhan jelang mengakhiri 2019 dan makin kuat di awal 2020,” ungkapnya.
Ke depan, efektivitas kebijakan moneter dan fiskal akan bergantung pada implementasinya.
Oleh sebab itu butuh syarat yang tidak ringan, yakni stabilitas politik, kepastian hukum dan kondusifitas iklim ekonomi dan investasi.
“Tanpa pemenuhan persyaratan tersebut, maka sinkronisasi dan harmonisasi kebijakan moneter dan fiskal yang esensinya pro pertumbuhan akan jadi sia-sia belaka,” kata Ryan.