Bisnis.com, JAKARTA - Pelaku usaha ingin adanya amandemen Peraturan Menteri Ketenagakerjaan No.35/2016 tentang Tata Cara Pemberian, Persyaratan, dan Jenis Manfaat Layanan Tambahan dalam Program Jaminan Hari Tua.
Amandemen ini dimaksudkan agar para pekerja bisa memiliki rumah sekaligus menggairahkan industri properti.
Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Hariyadi B. Sukamdani mengatakan dana BPJS Ketenagakerjaan bisa dimanfaatkan untuk membiayai perumahan. Dasar aturannya adalah Peraturan Pemerintah nomor 55 tahun 2015 tentang pengelolaan Aset Jaminan Sosial Ketenagakerjaan.
“Dalam peraturan itu, 30% jaminan hari tua bisa jadi program perumahan pekerja. Properti tidak hanya bergantung skema yang lalu seperti FLPP (Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan) dan sebagainya. Ini ada alternatif lain seperti jaminan hari tua,” kata Hariyadi.
Namun, pemanfaatan JHT untuk program perumahan itu menjadi tidak efektif lantaran pihak perbankan sebagai pemberi pinjaman merasa margin keuntungan yang diperoleh sangat kecil.
Sebagaimana yang diatur dalam Permenaker No.35/2016, suku bunga yang dikenakan kepada peserta untuk PUMP, KPR dan PRP paling tinggi sebesar 3% diatas tingkat suku bunga Bank Indonesia 7 DRRR.
“Nah selama ini, tidak bisa efektif karena si Bank pelaksananya merasa marginnya terlalu kecil, nah terlalu kecil karena BPJS Ketenagakerjaan menempatkan deposito di Bank, minta bunga premium, di lain pihak dia meminta Bank menyalurkan program itu dengan bunga yg dipatok, jadi marginnya tipis. Nah saat ini yang kami upayakan adalah dengan mengamandemen permenaker nomor 35/2016 itu manfaat langsung tambahan.”
Jika amandemen itu dilakukan, maka akan ada kelonggaran yang berdampak pada pelebaran margin, sehingga penyaluran jadi lebih baik lagi. Menurutnya, modal yang dimiliki untuk menjalankan program perumahan bagi pekerja ini sebetulnya cukup besar.
“Kita ekstrim aja dana kelola jaminan hari tua ada Rp 330 triliun, 30% aja Rp 100 triliun lebih kan. kita ga bicara Rp 100 triliun, berapa lah. Yang bisa dipake Rp10-20 triliun pasti gairahkan properti.”
Menurutnya, peluang pekerja atau masyarakat luas untuk mendapat kredit rumah dari program pemerintah saat ini hanya melalui skema FLPP. Padahal jatahnya hanya Rp7 Triliun dan sudah habis sejak pertengahan tahun ini.
“Dari segi bunga akan lebih mahal. Ini kan ada bunganya. FLPP kan dari APBN. Tapi setidaknya paling gak masyarakat ada pilihan.”
Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar menurutkan selama ini pihaknya mendukung adanya permenaker 35/2016 tersebut.
Menurutnya, Permenaker itu merupakan turunan dari prinsip ke-9 dimana hasil investasi dikembalikan untuk kesejahteraan peserta dan keluarganya. Namun dia mengakui jika permenaker itu masih mengalami sejumlah kendala mulai dari minimnya sosialisasi dan keinginan perbankan untuk mendapatkan margin keuntungan yang besar.
“Saya lihat perbankan ini kan dia maunya net marginnya tinggi. Sehingga dia tidak senang dengan batasan maksimal 3%, akibatnya mereka dalam menyalurkan kredit ini lebih suka ke yang marginnya tinggi, seperti perumahan komersil. Jadi permenaker 35/2016 ini tidak terlampau banyak tersalurkan ke pekerja,” kata Timboel.
Menurutnya, jika memang perlu ada revisi permenaker seperti yang diminta oleh APINDO, maka harus ada konsesus dari pada Bank Indonesia dan OJK bahwa ini adalah bagian dari strategi pemerintah secara nasional untuk menghadirkan rumah bagi para pekerja.
“Tapi memang betul, dengan berbagai hal yang harus dikoreksi. Misalnya tadi kalau APINDO anggap bunga 3 % diatas rata-rata bunga deposito menurut saya juga bagaimana perbankan harus punya konsensus untuk bisa mendukung bagaimana hadirnya perumahan untuk semua pekerja, yang memang belum punya rumah.”
Sementara itu, Deputi Direktur Hubungan Masyarakat dan Antar Lembaga BPJS Ketenagakerjaan Irvansyah Utoh Banja mengakui bahwa salah satu isu yang membuat penyaluran MLT belum optimal adalah masih banyaknya peserta BPJSTK yang belum memenuhi persyaratan administrasi dan kelayakan kredit dari Bank Kerjasama.
“Permenaker 35/2016 saat ini dalam proses pembahasan revisi dengan Kementerian dan Lembaga terkait untuk mengoptimalkan penyaluran MLT,” kata Irvansyah.
Adapun, BPJSTK selama ini dalam hal penyaluran MLT bekerjasama dengan 4 Bank Pemerintah melalui Perjanjian Kerjasama (PKS), yaitu BTN, BNI, BRI dan Mandiri. Sementara yang sudah menyalurkan 3 (tiga) Bank BTN, BNI dan BRI.
Dia mengatakan, untuk mendorong penyaluran MLT, pihaknya juga telah menempatkan sejumlah dana sesuai dengan PKS dengan Bank kerjasama untuk mendapatkan tingkat bunga KPR yang cukup rendah bagi peserta yang mengajukan KPR, namun dipastikan tetap memberikan hasil pengembangan yang optimal bagi seluruh peserta BPJAMSOSTEK.
“Tentunya margin Bank Kerjasama juga tetap terjaga sesuai suku bunga yang berlaku di pasar.”