Bisnis.com, JAKARTA – Pemerintahan periode kedua Presiden Joko Widodo berkomitmen melanjutkan pembangunan infrastruktur, termasuk pelabuhan. Namun, regulasi, kepastian hukum, hingga pembebasan lahan, masih menjadi tantangan. Untuk membedah berbagai masalah tersebut, Bisnis.com mewawancarai Ketua Umum Asosiasi Badan Usaha Pelabuhan Indonesia (ABUPI) Aulia Febrial Fatwa. Berikut petikannya.
Bagaimana Anda melihat perkembangan bisnis pelabuhan dan pengusahaan jasa kepelabuhanan?
Masih prospektif. Kita ini negara kepulauan. Berarti transportasi laut seharusnya menjadi backbone meskipun saat ini darat masih mendominasi. Kalau laut, mau tidak mau kapal harus bergerak dan bersandar di sebuah pelabuhan. Penyediaan jasa kepelabuhanan masih dibutuhkan.
Yang menjadi masalah, jasa kepelabuhanan ini yang bersifat komersial atau nonkomersial. Kalau kita berbicara di Jawa, Sumatra, di kota-kota besar, pasti jasa kepelabuhanannya bersifat komersial. Namun, kalau kita bicara di pelosok Papua, Pulau Rote, jasa kepelabuhanan tidak boleh berpikir untung. Berpikirnya adalah pelayanan.
Namun, apakah dengan pelayanan, swasta tidak berminat? Masih berminat. Pemerintah punya program baru, KPBU [kerjasama pemerintah dengan badan usaha]. Pembiayaan bisa dilakukan melalui KPBU jika infrastrukturnya tidak menguntungkan. Investor dikasih suatu jaminan pengembalian modal dari pemerintah.
Masalahnya, program KPBU ini masih baru. Berdengungnya baru 2—3 tahun lalu. Kebanyakan yang menggunakan baru BUMN dan anak perusahaannya. Swasta belum ada yang menyentuh karena enggak mengerti. Artinya, sosialisasi tentang KPBU ini penting.
Apakah sosialisasinya sudah optimal dilakukan?
Bappenas membuat PINA . Inilah motor sebenarnya untuk menyosialisasikan KPBU atau PPP . Di luar negeri, PPP itu sudah ngetop. Kita saja yang ketinggalan. Makanya, ABUPI melihat ini sebuah peluang. Tahun ini roadshow kami ke daerah bertopik KPBU dalam penyediaan infrastruktur kepelabuhanan.
Kenapa proyek KPBU Pelabuhan Anggrek di Gorontalo dan Baubau di Sulawesi Tenggara lamban?
Kementerian Perhubungan mengakui kalau mereka baru 1,5 tahun ini mengetahui KPBU, makanya terlambat. Kalau enggak salah, Anggrek baru market sounding.
Kemenhub masih merasa KPBU seolah-olah egosektoral mereka. Di pemerintah sendiri, pemahamannya juga enggak sama. Mungkin kalau di Kementerian PUPR , mereka sudah paham. Namun, pemahaman di Kementerian Perhubungan, Kementerian ESDM, kementerian yang lain, mungkin enggak sama. Tugas beratnya di Bappenas. Makanya, Bappenas punya PINA untuk menyosialisasikan itu.
Setiap ABUPI roadshow, kami mengundang PINA, kami suruh menjelaskan. Pemda juga kami undang. Kami selalu berpikir ke depan. Makanya, tahun-tahun lalu kami berpikir tentang regulasi, bagaimana regulasi tentang kepelabuhanan dipahami secara benar sehingga saat Anda mau melangkah, Anda tahu regulasinya mana yang mau dipakai.
Berarti pada 2020, investasinya bisa kencang?
Saya berharap kalau misalnya roadshow ABUPI tentang KPBU punya value, ada satu atau dua KPBU yang berjalan yang memang unsolicited dari swasta. Kalau memang pelabuhan, saya berharap itu dari anggota ABUPI. Saya bicara ke anggota, yang belum mempunyai konsesi, kalau masalah pembiayaan, sekarang sudah ada kendaraannya, KPBU. Gunakan kendaraan itu. Mau gaspol atau pelan-pelan, silakan.
Kami sudah menindaklanjuti dengan PINA. Kami sudah lakukan pertemuan tertutup. Ada progres. Mereka sudah menyusun secara B to B MoU antara PINA dan beberapa BUP. Mereka sudah mau melakukan pertukaran data.
Kalau itu terjadi, berarti debut proyek KPBU pelabuhan dipelopori oleh anggota ABUPI?
Amin. Seperti konsesi pelabuhan, yang pertama kali mendapatkan konsesi itu semua anggota kami seperti Wahyu Samudera Indah, Terminal Cigading, Marunda Center Terminal, KCN. Mana ada BUP swasta non-ABUPI yang mendapatkan konsesi? Tugas asosiasi adalah menjadi jembatan isu-isu yang dihadapi anggotanya.
Apakah regulasi sudah cukup mendukung investasi fasilitas pelabuhan dan bisnis jasa kepelabuhanan?
Kalau kita bicara regulasi, tidak ada regulasi yang sempurna. Pasti akan ada hambatan, kekurangan. Yang penting, jangan melihat kekurangan regulasi, tetapi spirit-nya. Enggak semua hal bisa diatur. Kalau bisa diatur, regulasi akan panjang.
Yang penting dasar compliance, basic-nya, terpenuhi. Misalnya kalau mau berusaha, harus punya izin usaha. Dasarnya ada. Birokrasi penting, tapi bukan dewa. Enggak akan ada yang bisa maju kalau itu dewa. Tapi kalau tidak ada birokrasi, juga tidak bagus. Harus teratur. Saya rasa semua regulasi saat ini sudah cukup. Kalau ada kekurangan, ya wajar.