Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Kebijakan BMTPS untuk Ratusan Produk TPT Impor Dikabarkan Terbit November 2019

Kebijakan bea masuk tindak pengamanan sementara (BMTPS) terhadap lebih dari 100 pos tarif tekstil dan produk tekstil (TPT) impor dikabarkan bakal terbit pada November 2019.
Pekerja meyelesaikan pembuatan pakaian di pabrik garmen PT Citra Abadi Sejati, Bogor, Jawa Barat, Sabtu (8/9/2018)./JIBI-Nurul Hidayat
Pekerja meyelesaikan pembuatan pakaian di pabrik garmen PT Citra Abadi Sejati, Bogor, Jawa Barat, Sabtu (8/9/2018)./JIBI-Nurul Hidayat

Bisnis.com, BANDUNG - Kebijakan bea masuk tindak pengamanan sementara (BMTPS) terhadap lebih dari 100 pos tarif tekstil dan produk tekstil (TPT) impor dikabarkan bakal terbit pada November 2019.

Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ade Sudrajat menegaskan besaran BMTPS yang diajukan oleh industri tekstil dan produk tekstil sedang diproses dan akan resmi berlaku pada November 2019.

"Rekomendasi dari Kementerian Perdagangan ke Kementerian Keuangan sudah, tinggal penetapan KMK dari Kemenkeu," ungkap Ade di sela-sela Musyawarah Provinsi XII (Musrop) API Jawa Barat, Selasa (29/10/2019).

Dengan demikian, produk TPT dalam negeri diharapkan bakal terlindungi dari maraknya impor barang tersebut. Adapun, besaran bea masuk masing-masing produk TPT akan berbeda-beda.

Menurut Ade, produk fiber akan dikenakan bea masuk tambahan sebesar 2,5%, sementara kain akan dikenakan sebesar 7%, benang 5-6%, dan garmen 15-18%.

Adapun, BMTPS tersebut akan berlaku selama 200 hari selama Komite Pengamanan Perdagangan Indonesia (KPPI) Kementerian Perdagangan menyelidiki kerugian dari tarif bea masuk sebelumnya. Setelah hasil investigasi selesai, besaran bea masuk yang baru dalam bentuk safeguard tersebut dapat diberlakukan selama 3 tahun.

Selama 3 tahun tersebut, dia berharap industri TPT mampu meningkatkan daya saing agar dapat mengembangkan pasarnya hingga ke luar negeri.

"[Caranya adalah] dengan merestrukturisasi permesinannya dengan mesin yang mutakhir dan canggih sehingga berdaya saing," ujar Ade.

Dia menegaskan Kementerian Perindustrian akan membantu industri TPT dalam menjalankan hal tersebut. Kemenperin akan menghidupkan kembali program restrukturisasi setelah disetop pada 2015.

Berdasarkan catatan Bisnis.com, Kemenperin telah mengajukan pagu indikatif sebesar Rp25 miliar untuk program tersebut.

Menurut Ade, program ini akan dimulai per 1 Januari 2020. Program restrukturisasi ini juga akan memberikan insentif bea masuk 0% bagi impor mesin industri TPT.

Pemerintah juga akan memperbolehkan industri TPT untuk mengimpor mesin bekas. Namun, syaratnya mesin tersebut berusia di bawah 5 tahun. Ade menuturkan ketentuan impor mesin bekas tersebut akan diberikan oleh Kemendag dan Kemenperin bagi industri TPT.

"Semuanya akan berjalan paralel, ada safeguards dan dibarengi dengan program restrukturisasi," kata Ade.

Dengan kebijakan-kebijakan tersebut, API yakin industri TPT di dalam negeri akan mulai kembali prospektif ke depannya. Optimisme dibarengi oleh pertumbuhan ekspor TPT yang masih tetap tumbuh dalam tiga tahun terakhir.

Sementara itu, Ketua Umum Ikatan Eksportir Importir Indonesia (IEI) Amalia mengungkapkan industri TPT memang membutuhkan kebijakan ini untuk memacu daya saing. "Mudah-mudahan pelaku tekstil ini bisa bersaing, jadi ibaratnya dalam perdagangan bisa fair," ujar Amalia.

Khusus untuk benang, dia melihat sebaikya tidak perlu kena safeguards karena sudah dikenakan antidumping. Menurutnya, kebijakan pengamanan perdagangan yang baik seharusnya bisa melindungi baik industri TPT baik dari hulu, antara, hingga hilir agar terjadi persaingan yang sehat.

Dia berharap pelaku usaha harus benar-benar berhitung risikonya. "Jangan sampai ada yang tadinya produsen tekstil, bealih membeli [mengimpor] garmennya saja," katanya.

Selain itu, dia mengingatkan agar industri garmen lokal tidak kalah bersaing dengan garmen impor ketika bahan baku tekstilnya terkena bea masuk tambahan. 

Amalia mengungkapkan cara lain untuk melindungi industri TPT domestik adalah dengan  merevisi perjanjian dagang Asean-China Free Trade Area (AC FTA), khusus untuk produk tekstil.

TPT yang sudah bisa diproduksi di dalam negeri dan perlu pembatasan seharusnya tidak perlu mendapatkan tarif preferensi (preferential tariff) atau bea masuk sampai 0%. Di dalam AC FTA, bea masuk bisa mencapai 0% dengan mengunakan Form E.

Khusus produk tekstil yang sedang dipermasalahkan, Amalia menilai tarif bea masuk bisa berlaku umum, meskipun mengunakan Form E.

Dia melihat Indonesia tidak akan dirugikan karena ekspor Indonesia ke China tidak lebih besar dibandingkan impor Indonesia dari China. "Padahal kalau kita impor dengan preferential tariff, Indonesia seharusnya bisa banyak ekspor juga sehingga neraca perdagangannya balance," tegas Amalia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper