Bisnis.com, JAKARTA— Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri tak mempermasalahkan adanya pro-kontra terkait kenaikan upah minium provinsi 2020 sebesar 8,51 persen.
Keputusan tersebut, ujar Hanif, sudah sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 yang mengamanatkan kenaikan UMP tiap tahun didasarkan atas besaran inflasi nasional dan pertumbuhan ekonomi nasional.
“Namanya pro-kontra biasa. Tapi pertama, posisi saya sebagai menaker [menteri ketenagakerjaan] kan menyampaikan data kepada para gubernur terkait data inflasi nasional dan pertumbuhan ekonomi nasional tahun 2019. Yang ini total angkanya 8,51 persen [kenaikan]. Jadi bukan aku yang mutusin,” kata Hanif di Istana Negara, Jumat (18/10/2019).
Dalam Surat Edaran Menteri Nomor B-M/308/HI.01.00/2019 yang ditujukan pada gubenur se-Indonesia disebutkan tolak ukur besaran inflasi nasional yang dimaksud adalah sebesar 3,39 persen dan pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 5,12 persen.
Sebagai informasi, dalam surat edaran tersebut Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri menyatakan para Gubenur wajib mengumumkan kenaikan UMP tersebut secara serentak pada 1 November 2019, sedangkan untuk UMK selambat-lambatnya ditetapkan dan diumumkan pada 21 November 2019.
Surat tersebut juga menyatakan, berdasarkan Pasal 63 PP No 78/2015 tentang Pengupahan, bagi daerah dengan UMP/UMK pada 2015 masih di bawah nilai kebutuhan hidup layak (KHL), wajib menyesuaikan upah minimumnya sama dengan KHL paling lambat pada penetapan upah minimum 2020.
Pada saat yang sama, Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani mengaku keberatan atas angka kenaikan UMP tersebut.
“Itu berat sekali. Base line jangan 8,5 persen. Sebelum 2016, kenaikannya luar biasa. Average kalau kami menghitung rata-rata naiknya selama kurun waktu lima tahun terakhir lebih dari 20 persen. Bayangin aja itu UMP rata-rata [kenaikan] 20 -30 persen,” ujar Hariyadi.