“Selesai tax amnesty , kegelapan diharapkan berakhir dan besok terbitlah terang.”
Kalimat yang terinsipirasi oleh kehidupan R.A Kartini, salah satu pejuang emansipasi perempuan, yang kemudian dibukukan dalam judul Door Duisternis tot Licht (Habis Gelap Terbitlah Terang) meluncur dari Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati lebih dari 2,5 tahun lalu.
Melalui Kartini, Sri Mulyani ingin menegaskan bahwa pengampunan harus menjadi momentum perubahan besar dalam dunia perpajakan.
Bagi pemerintah misalnya, tax amnesty perlu menjadi pemicu dimulainya reformasi besar-besaran di tubuh otoritas pajak, sedangkan bagi wajib pajak, tax amnesty menjadi fase baru bagi WP dalam menjalankan kepatuhan terhadap peraturan perpajakan.
“Ini [tax amnesty] menjadi sinyal Ditjen Pajak akan hijrah ke masa yang terang,” ucap Sri Mulyani kala itu.
Seperti diketahui, tax amnesty merupakan satu di antara sekian banyak terobosan kebijakan pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla di bidang perpapajakan. Implementasi kebijakan tersebut merupakan rekonsiliasi antara wajib pajak dengan pemerintah.
Dengan kata lain, pemerintah bisa mendapatkan dana dalam sekejap untuk melanjutkan pembangunan. Sementara bagi WP, tax amnesty bisa menjadi peluang untuk memperbaki kepatuhan tanpa harus takut dikejar-kejar sanksi yang tinggi.
Selama sembilan bulan pelaksanaan kebijakan, pemerintah telah mengantongi data deklarasi harta senilai Rp4.884,2 triliun yang Rp1.036,7 triliun di antaranya berasal luar negeri. Selain itu, otoritas pajak juga mencatat adanya repatriasi aset senilai Rp146,7 triliun dan uang tebusan dari wajib pajak senilai Rp114,5 triliun.
Kendati demikian, pengampunan pajak tak hanya menyisakan cerita manis. Bisnis.com mencatat, dibalik limpahan data ribuan triliun tersebut ada beberapa hal yang patut menjadi catatan. Dari sisi tingkat partisipasi misalnya, jumlah wajib pajak yang ikut pengampunan pajak kurang dai 1 juta atau tepatnya hanya 973.426. Jumlah tersebut hanya 2,4% dari wajib pajak yang terdaftar pada tahun 2017 yakni pada angka 39,1 juta.
Sementara itu untuk uang tebusan, dengan realisasi Rp114,5 triliun jumlah tersebut masih di luar ekspektasi pemerintah yang sebelumnya berada pada angka Rp165 triliun. Realisasi repatriasi juga sama, dari janji yang dalam pembahasan di DPR sebesar Rp1.000 triliun, otoritas pajak ternyata hanya bisa merealisasikan sebesar Rp146,7 triliun.
Tak heran sebenarnya jika hampir 3 tahun pascapelaksanaan tax amnesty, tingkat kepatuhan WP juga masih jauh panggang dari api. Tak banyak berubah dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Apalagi data per September 2019 menunjukkan rasio kepatuhan WP masih pada angka 70%. Angka itu jauh dari standar yang ditetapkan OECD yakni pada angka 85%.
Selain itu, catatan miring yang menyelimuti pengampunan pajak adalah kenyataan bahwa program tersebut justru menjadi modus para kriminal untuk menghindar dari kewajiban perpajakan. Kabar inipun secara tidak langsung juga telah dikonfirmasi oleh salah satu pejabat di lingkungan Kementerian Keuangan.
Tak heran jika melihat fakta-fakta tersebut, sejumlah pengamat mendorong otoritas pajak untuk melakukan penindakan hukum yang proporsional.
Beberapa waktu lalu pakar pajak DDTC Darussalam menganggap setelah pengampunan pajak, tak ada lagi pengampunan pajak jlid 1 atau 2, penegakan hukum harus menjadi prioritas, terutama bagi WP yang tidak pernah atau setengah hati dalam mengikuti pengampunan pajak.
Penegakan hukum yang konsisten dan proporsional, tidak hanya memberi efek jera kepada WP tak patuh tetapi juga memberikan keadilan bagi WP yang telah memenuhi semua kewajiban yang diatur dalam peraturan perpajakan. Memberikan relaksasi misalnya dengan melakukan tax amnesty jilid II justru seperti memberikan insentif kepada ketidakpatuhan.
Dengan demikian, bola panas pun saat ini berada di tangan otoritas pajak. Berbagai senjata untuk mengoptimalkan kepatuhan telah dimiliki. Persoalanya apakah mereka akan menggunakan senjata itu secara optimal atau tidak? Tunggu saja nanti…