Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Masih Belum Bebas dari Kutukan Shortfall Pajak

Tahun ini misalnya, jantung para pegawai pajak sedang berdegup kencang. Pasalnya di penghujung pemerintahan kabinet kerja, penerimaan pajak yang ditargetkan bisa tumbuh pada angka 19%, sampai awal Oktober 2019 justru terkontraksi hingga 0,31%. Ancaman pelebaran shortfall pun tampak jelas di pelupuk mata.
Karyawan berkomunikasi di kantor pusat Direktorat Jenderal Pajak di Jakarta, Senin (10/6/2019)./Bisnis-Nurul Hidayat
Karyawan berkomunikasi di kantor pusat Direktorat Jenderal Pajak di Jakarta, Senin (10/6/2019)./Bisnis-Nurul Hidayat

Shortfall penerimaan pajak menjadi momok yang tiap akhir tahun tiba. Pemerintah dibuat kalang kabut, ujung-ujungnya extra effort atau upaya ekstra dikebut demi menutup celah penerimaan pajak.

Tahun ini misalnya, jantung para pegawai pajak sedang berdegup kencang. Pasalnya di penghujung pemerintahan kabinet kerja, penerimaan pajak yang ditargetkan bisa tumbuh pada angka 19%, sampai awal Oktober 2019 justru terkontraksi hingga 0,31%. Ancaman pelebaran shortfall pun tampak jelas di pelupuk mata.

Target penerimaan yang tinggi, kepatuhan yang belum optimal, serta kemampuan memungut yang masih rendah ditengarai menjadi penyebab utama langgengnya ‘momok” shortfall penerimaan pajak.

Selain itu, stagnasi ekonomi akibat rapuhnya struktur perekonomian juga menjadi indikator lain anjloknya peforma penerimaan pajak. Padahal, stabilitas ekonomi menjadi salah satu syarat supaya prinsip self assessment bisa berjalan optimal.

Sejak awal pemerintahan periode pertamanya, Presiden Joko Widodo terus menggenjot infrastruktur di berbagai pelosok tanah air. Jalan tol dibangun, kawasan ekonomi dibuka, serta jaringan ekonomi pedesaan diperbaiki dan diperluas.

Ambisi tersebut membutuhkan dana yang tidak sedikit. Untuk mengatasinya, selain terobosan pembiayaan misalnya melalui utang, pajak menjadi harapan untuk membiayai proyek pembangunan yang menjadi program utama pemerintahan.

Tak heran jika selama 5 tahun terakhir, kontribusi perpajakan dalam struktur pendapatan negara terus meningkat. Data Kementerian Keuangan menunjukkan kontribusi penerimaan perpajakan terhadap pendapatan negara naik dari 74% pada 2014 menjadi 82,5%.

Namun demikian, ambisi tersebut tidak diimbangi dengan penerimaan pajak ideal. Selama 5 tahun terakhir, hampir semua indikator penerimaan pajak misalnya tax ratio, tax buoyancy (elastisitas penerimaan dengan produk domestik bruto), serta kemampuan memungut per jenis pajak belum sepenuhnya optimal.

Begitupula dengan penerimaan dari kepabeanan dan cukai. Dari aspek kepabeanan, penerimaan (bea masuk dan bea keluar) sangat ditentukan situasi perdagangan yang kondusif. Di satu sisi, khusus untuk cukai, tantangannya adalah terbatasnya barang kena cukai (BKC) yang dipungut cukainya atau masih mengandalkan penerimaan dari CHT.

Dengan indikator penerimaan yang belum optimal, tak heran jika rasio pajak Indonesia diproyeksikan hanya mampu pada angka 11,1% atau kalau di rata-rata hanya 11,6%.

Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) dalam Revenue Statistics in Asia and Pacific Economies 2019 baru-baru ini bahkan menempatkan posisi Indonesia paling buncit di deretan negara-negara Asia Pasifik yang disurvei.

Padahal, kalau merujuk standar dari dana moneter internasional (IMF), syarat sebuah negara melakukan pembangunan yang berkelanjutan harus memiliki rasio pajak sebesar 15%. Dengan rasio pajak yang hanya pada kisaran 11%, Indonesia bisa jadi jauh dari syarat tersebut.

Kendati demikian, otoritas pajak atau pemerintah memiliki pandangan yang berbeda. Bagi mereka, tinggi atau rendahnya rasio pajak sangat ditentukan komposisi menghitungnya besarannya, sehingga setiap negara tidak bisa disamaratakan.

"Kondisinya berbeda-beda, termasuk parameter menghitungnya," kata Direktur Jenderak Pajak Robert Pakpahan dalam berbagai kesempatan.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo berpendapat bahwa peforma penerimaan pajak merupakan imbas dari instabilitas dan sensitivitas politik terhadap isu perpajakan memaksa pemerintah terlalu berhati-hati dalam  melakukan penegakan hukum.

Padahal penegakan hukum adalah prasyarat bagi self-assessment system yang bertanggung jawab dan terbangunnya sistem  perpajakan yang berwibawa. Tiap upaya penegakan hukum, semoderat apapun, harus diukur tensinya di bawah ketiak politik.


"Kekhawatiran yang berlebihan akan gaduh politik, meski menemukan alasan pembenar, menjadikan otoritas pajak kita melempem bak macan ompong," jelasnya.

Hal ini tampak dalam beberapa kebijakan dan regulasi yang kerap muncul tiba-tiba dan lenyap dalam sekejap. Lugasnya, pemerintah gagal memanfaatkan potensi hegemonik pajak untuk meraih dukungan publik melalui artikulasi penegakan hukum yang terukur, fair, dan objektif.

Faktor berikutnya adalah tarikan kebutuhan insentif pajak. Dalam situasi perekonomian yang lesu darah dan membutuhkan stimulus, optimalisasi peran pajak sebagai instrumen kebijakan menemukan relevansi dan kemendesakannya.

Sepanjang pemerintahan Jokowi-JK, berbagai insentif pajak telah diberikan, bahkan terkesan jor-joran dan terlampau murah hati. Mulai dari penurunan tarif revaluasi aktiva tetap, penghapusan sanksi perpajakan, kenaikan PTKP, penurunan tarif pajak UMKM, dan puncaknya adalah amnesti pajak.

Tak berhenti di situ, cakupan tax holiday dan tax allowance pun terus diperluas agar lebih menarik bagi investor. Yang teranyar adalah super deductible tax untuk pendidikan vokasi dan riset. Cukup pasti rangkaian kebijakan insentif ini tidak keliru, bahkan amat dibutuhkan.

Namun demikian, menurutnya, yang kurang diperhatikan adalah mengukur ketepatan bidikan, efektivitas, kemujaraban, dan trade off berupa dampak pengganda bagi perekonomian dan perpajakan.

Dalam pelaksanaannya banyak kebijakan, regulasi, dan praktik perpajakan yang masih luput dari teropong insentif, seperti asimetri kebijakan fiskal Pusat-Daerah, praktik pemungutan Pajak Daerah yang tidak profesional, dengan tarif Pajak Daerah yang tidak seragam dan tak jarang terlampau memberatkan dunia usaha, dan pada gilirannya menjadi zero sum game.

Terakhir, Praswoto menganggap otoritas pajak selalu dituntut berkinerja prima tetapi ruang geraknya semakin dipartisi dan kurang diberi ruang artikulasi yang lebih otonom. Celakanya, kekuasaan yang tak pejal melahirkan banyak aktor kepentingan yang berpengaruh dan membuka akses pada kekuasaan yang tak setara.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Edi Suwiknyo
Editor : Achmad Aris

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper