Bisnis.com, JAKARTA - Otoritas pajak terus memutar otak untuk menyelematkan penerimaan pajak 2019. Selain optimalisasi data, Ditjen Pajak juga mulai 'mengatur' ritme pencairan restitusi yang sejak awal tahun tumbuh cukup signifikan.
Informasi yang dihimpun Bisnis.com, menyebutkan pengaturan restitusi menjadi strategi sejumlah kantor pelayanan pajak (KPP) di tengah lesunya penerimaan pajak. Harapannya dengan strategi itu, besarnya pencairan restitusi bisa lebih diatur dan tidak terlalu berpengaruh terhadap peforma penerimaan pajak.
Adapun modus yang dilakukan masing-masing kantor pajak beragam mulai dari menggunakan pendekatan persuasif dengan meminta wajib pajak yang memperoleh fasilitas percepatan restitusi untuk mengatur ritme pengembalian kelebihan bayar pajak-nya.
"Uang mereka tidak hilang, tetap kami kembalikan. Jadi lebih supaya teratur," ungkap sumber Bisnis.com di lingkungan Ditjen Pajak belum lama ini.
Di satu sisi, adapula yang menggunakan cara-cara lebih ekstrem. Sebuah peristiwa yang terjadi beberapa bulan lalu, menunjukkan keberadaan cara-cara yang diduga bertentangan dengan prinsip yang diatur dalam ketentuan pencairan restitusi dilakukan oleh kantor pajak.
Seorang wajib pajak mengungkapkan sesuai dengan prosedur ketika permohonan restitusi WP telah selesai diproses oleh kantor pelayanan pajak (KPP), ditandai dengan terbitnya surat ketetapan pajak lebih bayar (SKPLB) dan surat perintah membayar kelebihan pahak (SPMKP), seharusnya restitusi bisa langsung mereka peroleh.
Namun karena jumlahnya yang cukup fantastis, para Kepala Kantor Wilayajh (Kakanwil) tertentu langsung menindaklajuti dengan menginstruksikan kepada KPP untuk selektif dalam pengembalian atau restitusi pajak. Salah satunya dengan menahan atau menunda restitusi pajak.
"Bahkan ada cara-cara yang kurang elok, misalnya 'sengaja' menerbitkan SPMKP yang salah ketik nomor rekeninglah termasuk nama WP. Tujuannya agar KPPN punya alasan untuk menolak atau mengembalikan SPMKP," jelas informasi itu.
Pihak Ditjen Pajak segera membantah kabar tersebut. Menurut mereka restitusi sebagai hak wajib pajak tetap diselesaikan dan diberikan sesuai dengan ketentuan yang berlaku saat ini.
"Kita juga tidak mungkin terlambat dari jangka waktu yang telah diatur dalam UU," tegas Direktur Penyuluhan Pelayanan dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak Hestu Yoga Saksama, Kamis (3/10/2019).
Dalam catatan Bisnis.com sejak diterbitkannya Peraturan Menteri Keuangan No.39/PMK.03/2019 tentang Tata Cara Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak yang terakhir kali diubah dalam PMK No.117/PMK.03/2019 arus restitusi tumbuh cukup signifikan. Pada Agustus 2019, kendati ada pelambatan, restitusi masih tumbuh di atas 30%.
Salah satu substansi yang diatur dalam beleid tersebut adalah memberikan fasilitas fiskal berupa percepatan restitusi kepada WP yang berisiko rendah.
Naiknya klaim restitusi kemudian membuat hampir semua jenis atau sektor penerimaan pajak yang berkaitan langsung dengan restitusi mengalami kontraksi. PPN dan sektor manufaktur misalnya, sampai Agustus 2019 masing-masing terkontraksi hingga minus 6,36% dan minus 4,8%.
Padahal periode yang sama tahun lalu, pertumbuhan PPN maupun manufaktur pertumbunannya berada di atas 10%. Rendahnya kinerja pertumbuhan penerimaan pajak dari PPN dan manufaktur ini kemudian membuat peforma penerimaan sampai Agustus 2019 hanya tumbuh 0,2%.