Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

QUO VADIS BUMN: Konsolidasi Untuk Kedaulatan Bangsa

“Rugi dimaki, untung dibuli”. Ini adalah ungkapan untuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang benar-benar selalu disorot
Deputi Bidang Usaha Pertambangan, Industri Strategis dan Media Kementerian BUMN Fajar Harry Sampurno memberikan sambutan dalam acara Bisnis Indonesia CFO BUMN Award 2019 di Jakarta, Selasa (26/3/2019)./Bisnis-Felix Jody Kinarwan
Deputi Bidang Usaha Pertambangan, Industri Strategis dan Media Kementerian BUMN Fajar Harry Sampurno memberikan sambutan dalam acara Bisnis Indonesia CFO BUMN Award 2019 di Jakarta, Selasa (26/3/2019)./Bisnis-Felix Jody Kinarwan

“Rugi dimaki, untung dibuli”. Ini adalah ungkapan untuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang benar-benar selalu disorot. Berita adanya OTT membuat masyarakat kesal dan “geregetan”, bahkan Menteri BUMN sendiri beberapa waktu lalu sampai membawa semua Dirut dan Kepala SPI untuk bertemu dan mendapatkan taklimat langsung dari pimpinan KPK. Rupanya masih tidak cukup dengan kebijakan langsung memberhentikan siapapun yang menjadi tersangka dan penelusuran latarbelakang selain asesmen kompetensi dari lembaga independen.

Masih jadi pembicaraan juga soal persepsi harga tiket pesawat udara yang seolah-olah disebabkan karena BUMN yang namanya Garuda Indonesia. Padahal ada lebih dari 7 maskapai swasta lain yang beroperasi dan 24 lainnya yang sudah almarhum karena murahnya harga tiket dulu. Lucunya semua tahu sebagian besar maskapai kondisinya merugi. PLN dan Pertamina yang menjalankan fungsi pemerataan dan agen pembangunan tetapi masih mampu berlaba pun tetap saja di “buli”.

Ada juga kalangan yang ikut “protes” seolah-olah tidak tahu bahwa BUMN sudah tidak memonopoli seperti tahun 90an dulu. Juga tidak mau mengerti saat disampaikan kecilnya porsi BUMN dalam pekerjaan konstruksi yang berasal dari dana APBN, tidak sampai 37%. Malah dari APBD tidak lagi diperbolehkan BUMN “ikutan” proyek supaya memberikan kesempatan pengusaha lokal. Bahkan di PLN, BUMN terakhir yang secara alami harusnya monopoli, sudah terbuka lebar untuk swasta tidak hanya untuk pembangkit tetapi bahkan wilayah usaha (trasmisi dan distribusi).

Berita bagusnya, kinerja keseluruhan BUMN ternyata makin “kinclong”. Selama empat tahun terakhir Aset BUMN berkembang hampir dua kali lipat menjadi sekitar Rp8.200 triliun. Penjualan atau omsetnya tahun 2018 mencapai Rp2.300 triliun melebihi APBN tahun yang sama.  Ini berarti hampir 17 persen kegiatan perekonomian Indonesia (diukur dari PDB yang sekitar Rp14 ribu triliun) ditopang oleh kegiatan usaha dari BUMN.

Berbeda dengan  hoax berita, selama empat tahun terakhir sampai dengan 2019 ini tidak ada BUMN yang dijual. Justru  BUMN yang membeli atau istilah kerennya mengakuisisi aset perusahaan asing seperti Siemens (dibeli Barata Indonesia), Holcim (dibeli Semen Indonesia) dan Freeport (dibeli Inalum).

Memang masih ada yang merugi, namun jumlahnya turun drastis dari 34 perusahaan di tahun 2014 menjadi hanya 10 perusahaan. Itupun termasuk beberapa perusahaan yang memang sudah tidak beroperasi seperti Merpati, Leces, KKA, Soda dan Iglas.

Dari kegiatan usaha itulah BUMN pada tahun 2018 menyumbang sekitar 467 trilyun kepada APBN dalam bentuk pajak, royalti dan PNBP lainnya termasuk 42 trilyun berbentuk dividen. Artinya dividen adalah bagian laba BUMN yang mencapai lebih dari 200 trilyun. Pertanyaaannya adalah “terus setelah itu apa?”

Saat acara debat calon Presiden, pak Jokowi mewacanakan rencana “super holding” BUMN. Usut punya usut sebenarnya beliau sudah sampaikan hal ini pada bulan Oktober 2015, di Istana Negara saat “menyentil” 119 Dirut BUMN agar jangan saling tabrak, harus sinergi dan efisien dengan memberikan contoh ATM Bank BUMN yang masih sendiri2 serta dengan pengarahan yang sangat jelas supaya BUMN menjadi “besar, kuat tapi lincah”.

Tulisan ini mencoba melihat dari sejarah dan perubahan lingkungan yang dihadapi BUMN secara umum dan secara khusus bagaimana konsolidasi melalui holding bisa membuat BUMN menjadi besar, kuat tapi lincah.

Tinjauan Sejarah

Indonesia pada awal kemerdekaan sampai penyerahan kedaulatan tahun 1949, mempunyai “jawatan” yang melaksanakan “usaha negara" sebagaimana penjelasan ayat 2 Pasal 33 UUD 1945 dan hanya terbatas pada cabang produksi yang penting bagi Negara dan menguasai hajat hidup orang banyak.

Jawatan tersebut tunduk pada ICW dan IBW dengan lingkup kegiatan pelayanan umum seperti pelabuhan, kereta api, pos telepon dan telegraf, listrik dan beberapa lembaga yang dianggap penting seperti Penataran Angkatan Laut, Tambang Batu Bara, Garam dan Soda. "Usaha negara" saat itu, berasal dari Hindia Belanda kecuali yang didirikan tahun 1946 yaitu Bank Negara 1946, Bank Industri Negara (nantinya menjadi BAPINDO yang terakhir dilebur menjadi Bank Mandiri) dan Natour Ltd untuk mengembangkan usaha dibidang pariwisata.

Karena berlarutnya tindaklanjut KMB khususnya penyerahan wilayah Irian Barat  padahal Indonesia sudah membayar hutang yang dipersyaratkan, akhirnya dilakukan nasionalisasi perusahaan Belanda melalui Penetapan Pemerintah nomor 22/23/24 Tahun 1958 yang dikukuhkan dengan UU nomor 86 tahun 1958. Dari sekitar 20-an, nasionalisasi itu meningkatkan jumlah “usaha negara” menjadi sekitar 400an yang tentu saja sebagian besar perusahaan yang (tadinya) berorientasi usaha komersial.

Dekrit Presiden yang mengembalikan UUD 1945 dan era Demokrasi & Ekonomi Terpimpin sebagaimana digariskan dalam Manifesto Politik 17 Agustus 1959 kemudian menata seluruh perusahaan itu “sama rata sama rasa” dengan UU 19 Prp Tahun 1960 tentang Perusahaan Negara (PN).

Sebagai pengejawantahan pasal 33 UUD 1945 dan manifesto politik maka dilakukan reorganisasi semua PN menjadi alat-alat produksi dan distribusi dalam menjalankan “usaha negara”. Secara seragam semua PN dikelola oleh suatu Badan Pimpinan Umum (BPU) di masing-masing sektor (Departemen) tanpa membedakan apakah menyangkut hajat masyarakat, penting bagi Pemerintah maupun yang sepenuhnya bergerak dalam bidang usaha komersial biasa. Salah satu contoh adalah penetapan gaji pegawai PN yang maksimum 150 persen dari gaji PNS dan dibuatnya suatu rekening bagian hasil usaha yang dinamakan Dana Pembangunan Semesta (DPS).

Perubahan politik dan kebijakan ekonomi terbuka sejak tahun 1967 kemudian mengubah cara Pemerintah menangani PN dengan menerapkan prinsip dekontrol dan debirokrasi yang dituangkan dalam Perpu 1/1969 yang ditetapkan menjadi UU Nomor 9 Tahun 1969 tentang bentuk-bentuk  "usaha  negara” yang mengatur 3 (tiga) bentuk badan hukum yaitu Perusahaan Jawatan (PERJAN), Perusahaan Umum (PERUM) dan Perusahaan Perseroan (PERSERO) dan sekaligus membubarkan BPU dimasing-masing Departemen.

UU 9/1969 dimaksudkan untuk meluruskan kembali fungsi "usaha negara” kedalam badan hukum yang lebih jelas dan sesuai dengan misi Pemerintah. PERJAN adalah usaha negara yang merupakan bagian dari kegiatan pelayanan dari Departemen dan pimpinannya merupakan struktur di Departemen. PERUM adalah “Public Enterprise” yang kegiatan usahanya penting bagi negara dan/atau mencakup kepentingan masyarakat (produksi, distribusi dan konsumsi) dengan tetap memperhatikan tingkat keuntungan.

Sebelum ada UU khusus, maka PERUM tunduk kepada UU 19 Prp/1960 tentang Perusahaan Negara. Sedangkan "usaha negara” yang semata-mata untuk memupuk keuntungan atau bertujuan komersial, maka bentuk hukumnya adalah PERSERO sebagaimana halnya perseroan terbatas lain yang tunduk pada ketentuan KUHD (terakhir diubah dengan UU nomor 40/2007 tentang Perseroan Terbatas).

Selanjutnya untuk meningkatkan efisiensi dalam pengelolaan 3 bentuk “usaha negara” diatas, diterbitkan pedoman berupa PP Nomor 3 Tahun 1983 yang mengatur pembinaan, pengelolaan dan pengawasan Perjan, Perum dan Persero yang resmi disebut sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN). 

Perubahan Lingkungan Usaha

Perkembangan trend globalisasi dan liberalisasi pada tahun 1980an secara ekstrim mempengaruhi cara pandang terhadap BUMN yang biasanya bertujuan (Rees, 1984 p.2) pelayanan umum, memperbaiki kegagalan pasar, menyeimbangkan struktur ekonomi dan menjalankan kebijakan pembangunan jangka panjang.

Semangat liberalisasi saat itu mempercayai bahwa swasta lebih efisien dari BUMN (Bs, 1981) karena beberapa hal yaitu: Pertama, di perusahaan swasta, pemegang saham berkewajiban memberi modal supaya perusahaan berkembang dan bahkan Direksi terkadang mempunyai saham sehingga lebih berkepentingan terhadap tumbuhnya perusahaan.

Kedua, BUMN harus mengikuti prosedur birokratis saat pertanggungjawaban keuangan dan operasional seperti dalam pengadaan barang dan jasa ataupun rekrutmen dan PHK karyawan. Ketiga adalah tidak adanya kebijakan yang tertulis dan jelas tentang insentif materi maupun non materi atas keberhasilan perusahaan. Keempat, Direksi di sektor swasta berada dalam lingkungan yang lebih kompetitif sehingga mereka mengeluarkan kemampuannya.

Berdasarkan trend globalisasi, terbentuk pendapat bahwa peningkatan efisiensi dan kinerja BUMN harus dilakukan dengan cara privatisasi atau menjual saham (Rodney, 1990). Pemerintah diharapkan akan mendapatkan keuntungan dengan mendorong persaingan, mengurangi subsidi dan pengeluaran Pemerintah (Hughes, 1994). Walaupun sebenarnya menjual BUMN hanyalah memberikan akses ke pasar modal, memudahkan pengambilalihan dan mendorong karyawan memiliki saham (Still 1988)

Memang benar sebagian BUMN tidak hanya di Indonesia kinerjanya tidak bagus, tetapi demi kepentingan umum, Pemerintah harus tetap memiliki dan memperbaiki BUMN yang secara alami bersifat monopoli. BUMN tersebut harus didorong untuk lebih efektif menyediakan barang dan jasa yang lebih murah. (Willis, 1988).

H.V. Evatt Research Centre (1988) menunjukkan bahwa privatisasi di Inggris yang dimulai tahun 1979 sama sekali tidak memperbaiki inefisiensi, menyebarkan kepemilikan maupun mengurangi subsidi atau pengeluaran Pemerintah. Bahkan ditunjukkan bahwa privatisasi dengan menjual perusahaan tidak selalu menimbulkan keuntungan untuk masyarakat. Bahkan kemudian terbukti bahwa profitabilitas dan produktifitas banyak BUMN bisa meningkat tanpa menjual saham (Parker and Hartley,1991; Mahmud,1992).

Fokus pembenahan BUMN di Indonesia mulai jelas saat pada tahun 1998 diangkat Menteri yang khusus membina BUMN dan kepadanya diserahkan sebagian wewenang Menteri Keuangan melalui PP 50/98. Kebijaksanaan satu tangan ini diikuti dengan penyerahan pengelolaan BUMN oleh masing-masing Menteri sektoral kepada Menteri Pembinaan BUMN, kecuali BUMN yang berbentuk PERUM dan PT Kereta Api (Persero) yang diserahkan belakangan.

Menteri BUMN pertama Tanri Abeng, kemudian menyusun konsep pengelolaan BUMN melalui “holdingisasi” dimana rentang kendali Pemerintah hanya akan sampai pada 10-12 BUMN holding dan selebihnya akan menjadi anak usaha. Saat itu sudah ada beberapa BUMN holding dibidang semen (PT Semen Gresik), pupuk (PT Pupuk Sriwijaya), industri strategis (PT BPIS) dan PT RNI.

Sayangnya krisis moneter 1997 bergolak menjadi badai politik sehingga konsep holding Tanri Abeng yang disiapkan oleh 7 konsultan international ternama seperti McKinsey, AT Kearney, BoozAllen, Ernst & Young, Price Waterhouse, KPMG dan kemudian dikenal dengan dokumen “Reformasi BUMN” hanya menjadi “macan kertas” bahkan tidak ada yang peduli saat PT BPIS sebagai holding industri strategis dibubarkan pada tahun 2002 tanpa alasan yang jelas.

Pada periode itupun terjadi carut marut pendirian dan pembubaran Perjan Rumahsakit, RRI dan TVRI disamping penyelamatan dan konsolidasi Bank pemerintah yang tadinya berdasarkan UU juga perubahan status Pertamina yang berdasar UU menjadi PT (persero) biasa.

Kondisi sempoyongan tidak jelas ini sedikit mereda dengan disahkannya UU nomor 19 tahun 2003 tentang BUMN, dimana ditetapkan bahwa bentuk usaha milik negara hanya ada dua yaitu PERUM dan PERSERO. Perjan dihilangkan karena sudah ada Undang-undang yang mengatur tentang BLU (badan layanan umum) atau berubah status jadi lembaga publik (RRI-TVRI) bahkan terakhir dengan UU Jamsostek berubah menjadi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (Askes dan Jamsostek).

Perlu dicatat bahwa di periode yang sama itu juga terjadi amandemen terhadap UUD 1945 tidak terkecuali pasal 33 yang dianggap sumber hukum adanya BUMN sebagai perwujudan “usaha negara”, dengan menambahkan ayat 4 dan 5 menjadi “Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang”.

Peran BUMN di beberapa sektor

Dari amandemen UUD, terbitlah regulasi sektoral seperti UU nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gasbumi yang tidak lagi memberi peran BUMN untuk menjalankan “usaha negara” tetapi hanya sebagai salah satu “pelaku usaha” disamping BUMD, Koperasi/usaha kecil dan Swasta sebagaimana diatur dalam pasal 9. Bahkan dibentuk Badan Pengelola (kegiatan hulu) dan Badan Pengatur (kegiatan hilir) yang pada saat pendiriannya merupakan pengalihan unit dari Pertamina (BKKA).

Dalam UU 4 tahun 2009 tentang Minerba, pasal 33 diartikan sebagai rezim “izin” dan BUMN bukanlah “usaha negara” tetapi pelaku usaha yang “kebetulan” dimiliki negara. Sebagai “tanda pengakuan” dalam UU tersebut khususnya di pasal 75 ayat (2) dan (3) dinyatakan bahwa BUMN dan BUMD mendapatkan prioritas untuk mendapatkan IUPK, ditambah dengan pasal 112 ayat (1) yang menegaskan  bahwa setelah 5 (lima) tahun berproduksi, pemegang IUP dan IUPK yang sahamnya dimiliki asing wajib melakukan divestasi kepada Pemerintah, pemerintah daerah, BUMN dan BUMD, sebelum ditawarkan ke swasta nasional.

Sebaliknya dalam UU 16 tahun 2012 tentang Industri Pertahanan didefinisikan secara lengkap bahwa industri pertahanan adalah industri nasional yang terdiri atas BUMN & BUMS baik secara sendiri maupun berkelompok yang ditetapkan oleh pemerintah untuk sebagian atau seluruhnya menghasilkan alat peralatan di bidang pertahanan dan keamanan yang berlokasi di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Namun dalam pasal 11 ditegaskan bahwa Industri alat utama adalah BUMN yang ditetapkan oleh Pemerintah sebagai pemadu utama (lead integrator). Dengan demikian UU ini melengkapi UU Pertahanan Negara (nomor 3/2002) yang secara eksplisit menyebutkan bahwa Menteri Pertahanan mendorong dan memajukan pertumbuhan industri pertahanan.

Pengaturan yang lebih tepat dapat dibaca dalam UU 3 tahun 2014 tentang Perindustrian yang untuk pertamakalinya mengatur dan mendefiniskan istilah industri strategis dalam pengertian di Pasal 1 sebagai Industri yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyakmeningkatkan atau menghasilkan nilai tambah sumber daya alam strategis, atau mempunyai kaitan dengan kepentingan pertahanan serta keamanan negara …. dan dipertegas dalam Pasal 84 ayat (1) bahwa Industri Strategis dikuasai negara terdiri dari 3 kelompok industri strategis yaitu “penting bagi negara” dan yang:

  • "Meningkatkan/menghasilkan nilai tambah sumber daya alam strategis” (industri smelter & hilirisasinya)
  • "Memenuhi kebutuhan yang penting bagi kesejahteraan rakyat atau menguasai hajat hidup orang banyak” (industri utilitas seperti air listrik gas BBM dan telekomunikasi)
  • "Mempunyai kaitan dengan kepentingan pertahanan keamanan negara” (industri pertahanan)

Konsolidasi BUMN Hadir untuk Negeri

Dalam kondisi diatas inilah kemudian dibuat suatu roadmap baru BUMN pada tahun 2015 dengan maksud menjadikan BUMN besar kuat namun tetap lincah.

Arah pengembangan ke depan ditopang oleh 4 pilar yaitu sinergi BUMN, hilirisasi dan kandungan lokal, pengembangan ekonomi daerah dan kemandirian keuangan. Semua ini tetap dengan tujuan sebagaimana digariskan UU 19 tahun 2013 selain mengejar keuntungan, BUMN harus mampu menjadi agen pembangunan bagi bangsa dan negara. 

Dengan strategi yang konsisten selama 4 tahun terakhir, telah tercapai kinerja secara operasional maupun keuangan dan tercermin dari kontribusi kepada perekonomian negera dan khususnya kepada APBN yang semakin meningkat. Sudah banyak program dan keberhasilan dari BUMN sebagai agen pembangunan bahkan ikut berbagi dalam berbagai kegiatan langsung kepada masyarakat. 

Ada 2 (dua) holding baru yaitu industri pertambangan dan migas sudah terbentuk disamping terus membenahi dan lebih mengefektifkan 4 (empat) holding yang sudah ada. 6 (enam) holding sektoral tersebut telah membuktikan kemampuan fantastis jika dikelola dengan baik oleh SDM yang tepat dan mumpuni sebagaimana efek ungkit Inalum yang mampu mengambil alih 51% saham Freeport Indonesia melalui perundingan yang sangat kompleks dengan Freeport McMoran dan RioTinto.

Namun disaat yang sama, sangat dirasakan banyak sekali hambatan dari sisi birokrasi internal maupun eksternal yang membuat kegiatan penyehatan berbagai BUMN bahkan yang kecil sekalipun tidak bisa dilakukan karena keterbatasan fungsi Kementerian BUMN maupun Kementerian Keuangan sebagai lembaga pemerintah.

Sebagaimana disitir dan diperkirakan oleh Potter dalam bukunya yang sangat terkenal yaitu Competitive Advantages of the Nations (1990), maka era Adam Smith dengan teori persiangan antara negara (Comparative Advantages of Nations) sudah berubah drastis. Persaingan antara negara bukan diperankan oleh Pemerintah tetapi oleh perusahaan, kekuatan bisnis.

Bentuk badan usaha yang luwes sangat diperlukan untuk mengantisipasi dan menghadapi perkembangan dunia saat ini yang bahkan belum terpikirkan saat Potter menulis bukunya di tahun 1990an. Era disrupsi dengan istilah VUCA (Volatile, Uncertain, Complex, Ambigious) makin nyata dan tidak mengenal sektor atau jenis usaha.

Bagaikan badai maka perusahaan yang beradaptasi, niscaya hilang terbang diterjang badai. per 1 Juni 2019, aplikasi BBM yang sempat merajai dunia sosmed Indonesia terpaksa berhenti. Tentu bukan itu yang dicita-citakan sebagai masa depan BUMN yang menjadi penjaga kedaulatan ini.

Sinergi yang sudah sangat baik dengan semangat tinggi, tetap terkendala dengan birokrasi Kementerian dan struktur pembinaan BUMN. Itulah kenapa diperlukan struktur usaha yang luwes dalam bentuk super holding yang mampu dan berwenang untuk mengkonsolidasikan dari sisi akuntansi keuangan, dan juga kewenangan melakukan “resource allocation” dari sisi SDM, investasi, teknologi dan program, sekaligus mempunyai kewenangan operasional melakukan sinergi dan mencegah terjadinya duplikasi usaha dan investasi.

Hal-hal itulah yang menjadi dasar kenapa harus ada superholding di negara sebesar Indonesia ini yang diperkirakan bakal jadi kekuatan ekonomi terbesar ke-5 pada tahun 2045. Dengan superholding akan terbentuk BUMN Incorporated yang mengikuti kaidah-kaidah tata kelola korporasi yang lebih agile (besar, kuat, tetapi tetap lincah), profesional dan transparan.

Hanya dengan superholding yang dapat melakukan resource allocation secara efisien dan fleksibel tanpa mengganggu APBN dan politisasi melalui: cash pooling, pengaturan modal, investasi, teknologi dan SDM.

Superholding BUMN juga akan mampu menjadi tangan kedua bagi Negara dalam melaksanakan pembangunan tanpa terhambat proses anggaran dan otonomi daerah. Menjadi elemen utama penggerak perekonomian nasional, termasuk fungsi agen pembangunan dan penopang stabilitas fiskal dan moneter sekaligus menjadi alat diplomasi internasional dalam memfasilitasi badan usaha Indonesia untuk bersaing di tingkat global dan mendapatkan “economic influence”.

Kita sudah mendengar Temasek sebagai superholding Republik Singapura dengan kiprahnya mengakuisisi sebagian besar bank dan juga unicorn Gojek. Kita sudah tahu sepak terjang Khazanah, superholding yang langsung dikomandani Perdana Menteri Malaysis dan menguasai “sebagian” bank dan operator selular XL-axiata. Masihkan kita mau menunda terwujudnya konsolidasi BUMN Indonesia dalam bentuk superholding demi kedaulatan ekonomi bangsa?

*) Fajar Harry Sampurno adalah Deputi Menteri BUMN Bidang Industri Strategis.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper