Bisnis.com, JAKARTA - Peneliti Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet menilai rendahnya serapan pinjaman oleh pemerintah terekspresikan dalam belanja modal yang cenderung melenceng dari target.
Yusuf berargumen bahwa hal ini disebabkan oleh terhambatnya pembebasan lahan yang berlarut-larut.
Selain itu, faktor pendukung dari pelaksanaan proyek cenderung tidak merata persebarannya, seperti contoh dengan terkonsentrasinya bahan baku proyek konstruksi yang terpusat di Jawa.
Meski pemerintah sudah memiliki UU No. 2/2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, Yusuf mengatakan pemerintah masih perlu melakukan konsolidasi ulang terkait seberapa besar dana yang disediakan oleh pemerintah dalam pembebasan lahan.
Lebih lanjut, peran Lembaga Manajemen Aset Negara (LMAN) ke depannya juga perlu ditingkatkan. "LMAN perlu mendata seberapa besar dana yang dibutuhkan untuk pembebasan lahan itu sendiri," ujar Yusuf, Minggu (25/8/2019).
Dengan diundangkannya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 100/2019 tentang Tata Cara Pendanaan Pengadaan Tanah Bagi Proyek Strategis Nasional (PSN) dan Pengelolaan Aset Hasil Pengadaan Tanah Oleh LMAN, diakui bahwa pembebasan lahan terutama untuk PSN bakal makin fleksibel.
Meski demikian, LMAN dipandang tetap perlu lebih cermat lagi terkait besaran dana yang dibutuhkan.
"Pemerintah perlu meninjau ulang karena diperkirakan kebutuhan pembebasan tanah sangat besar dari apa yang disediakan oleh LMAN," ujarnya.
Untuk diketahui, PMK No. 100/2019 mengatur bahwa pelaksanaan pengadaan tanah PSN dapat dilaksanakan menggunakan dana ganti rugi pengadaan tanah PSN pada LMAN secara lintas tahun anggaran.
Dana ganti rugi pengadaan tanah pun dapat digunakan tidak sesuai dengan rencana penggunaan dana sepanjang terdapat perubahan daftar prioritas pendanaan tanah bagi PSN.
Selain itu, dana ganti rugi tersebut juga dapat digunakan dalam rangka memenuhi kebutuhan pembayaran daftar prioritas pendanaan pengadaan tanah bagi PSN tahun yang berbeda.
Merujuk pada Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) 2018, realisasi belanja modal mencapai Rp184,12 triliun atau 90,31% dari anggaran yang mencapai Rp203,87 triliun.
Realisasi belanja modal 2018 lebih rendah dibandingkan dengan 2017 yang mencapai Rp208,65 triliun.
Merujuk pada laporan semester I APBN 2019, belanja modal diproyeksikan berada pada angka Rp173,35 triliun.
Meski demikian, perlu dicatat pula bahwa anggaran belanja modal pada APBN 2019 hanyalah Rp189,34 triliun, lebih rendah dari tahun sebelumnya.
Per semester I/2019, belanja modal hanya terealisasi Rp34,66 triliun atau hanya 18,3% dari anggaran.
Angka ini lebih rendah dibandingkan dengan capaian tahun-tahun sebelumnya yang pada periode yang sama 2017 mencapai Rp47,5 triliun dan 2018 mencapai Rp40,7 triliun.
Hal ini disebabkan oleh proses pembebasan lahan yang masih belum selesai.
Adapun K/L penyerap anggaran belanja modal terbesar per semester I/2019 adalah Kementerian PUPR dengan proporsi 51% dan Kementerian Perhubungan dengan proporsi 10%.
Seperti yang telah diketahui sebelumnya, kinerja penyerapan pinjaman pemerintah baik luar negeri maupun dalam negeri per kuartal II/2019 dilaporkan masih rendah.
Berdasarkan laporan Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan (Kemenkeu), hanya 25% dari kegiatan yang dibiayai melalui pinjaman yang pelaksanaannya sesuai dengan jadwal atau melampaui jadwal.
58% dari kegiatan yang didanai melalui pinjaman berada di belakang jadwal, sedangkan 17% sisanya berada dalam kategori at risk.
Masalah Pembebasan Lahan Sebabkan Serapan Pinjaman Rendah
Peneliti Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet menilai rendahnya serapan pinjaman oleh pemerintah terekspresikan dalam belanja modal yang cenderung melenceng dari target.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Penulis : Muhamad Wildan
Editor : Achmad Aris
Topik
Konten Premium