Bumerang Kebijakan Pengenaan Pajak Final
Adapun, persoalan lain yang bisa menjadi indikasi dari rendahnya rasio pajak adalah pengenaan skema final kepada sektor-sektor tertentu, salah satunya konstruksi dan real estat.
Pengenaan final bagi konstruksi diatur dalam Peraturan Pemerintah No.51/2008 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi yang membagi tarif final bagi jasa konstruksi dari 2%, 3%, 4%, dan 6%.
Sementara itu, untuk real estat mekanisme tarifnya diatur dalam PP No.71 Tahun 2008 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah Dan Atau Bangunan yang telah diubah ke dalam PP No.34/2016.
Dengan skema final yang dikenakan kepada sektor tersebut, kontribusi konstruksi dan real estat ke penerimaan pajak 2018 hanya Rp83,5 triliun atau 6,9%. Padahal ukuran ekonomi di PDB mencapai sebesar 13,2% atau hampir Rp2.000 triliun.
Kendati demikian, rendahnya kontribusi konstruksi dan real estat tak membuat pemerintah berhenti untuk memberikan privilege kepada sektor tersebut. Apalagi, belum lama ini pemerintah kembali memberikan jor-joran insentif, dengan dalih untuk mendorong perekonomian.
Padahal, OECD belum lama ini juga menyetbutkan bahwa, sektor properti juga merupakan salah satu sektor yang rawan menjadi obyek kejahatan pencucian uang.
Dalam sebuah kajian Money Laundering and Terorist Financing Awareness Handbook for Tax Examiners and Tax Auditors, lembaga global menyebutkan bahwa properti, terutama real estat merupakan jenis harta yang banyak digunakan oleh para penjahat untuk menyamarkan uang haram.
Baca Juga
Dengan demikian, pemberian insentif yang banyak diberikan sektor properti ini juga bisa menguatkan hipotesa siapa yang diberikan insentif oleh pemerintah apakah rakyat kecil atau para orang-orang superkaya, yang kalau merujuk data Forbes sebagian di antaranya notabene para taipan pemilik properti. (Bersambung halaman berikutnya)