Bisnis.com, JAKARTA - Niccolo Machiavelli dalam buku The Prince (Sang Penguasa) mempersoalkan dua hal tentang pajak berkaitan dengan kekuasaan yang hendak diperoleh. Pertama, bila ingin mempertahankan kekuasaan, jangan membuat perubahan dalam hukum maupun sistem perpajakan. Kedua, menarik pajak yang berat dan melakukan segala cara supaya memperoleh uang merupakan permulaan rakyat membencinya.
Machiavelli yang lahir pada 1469 di Florence, Italia, seakan memahami betul persoalan pajak, karena mungkin dipengaruhi latar belakang ayahnya sebagai ahli hukum yang bekerja sebagai pegawai pemerintah di kantor pajak di kotanya.
Lepas dari persoalan nama Machiavelli yang dikenal dalam ilmu politik dan sering dihubungkan dengan praktek kekuasaan yang tidak baik, dua hal amat menarik untuk diulas dalam mempersoalkan pajak dalam kacamata akal sehat bayar pajak.
Pertama, bagaimana memahami akal sehat dalam konteks bayar pajak saat ini ? Kedua, bagaimana menyikapi kesadaran pajak yang terus menjadi persoalan untuk bayar pajak ?’
Ketika pajak dipahami sebagai kontribusi proporsional yang dilakukan rakyat dari harta yang dimiliki atas dasar undang-undang untuk kebutuhan masyarakat (De Leon, 1977), pajak dipastikan menjadi kekuatan (sinews) negara dan cara terbaik mengalokasikan beban pemerintah untuk kebutuhan itu.
Makna tersebut merupakan esensi dari akal sehat yang mestinya sudah dapat dipahami oleh semua wajib pajak (WP). Kalau begitu, pertanyaannya apa hubungan akal sehat bayar pajak dengan pernyataan Machiavelli tersebut di atas?
Tulisan Machiavelli sesungguhnya lebih ditujukan pada nuansa kepentingan dan kekuasaan dari sisi politik. Kecenderungan berfikir Machiavelli lebih dilandasi kepentingan politik semata dalam konteks mempertahankan kekuasaan yang hendak diraih seseorang.
Padahal, bicara akal sehat mesti dianalisis pada logika hukum. Kepentingan hukum cenderung lebih abadi ketimbang kepentingan politik yang berjangka waktu pendek. Akal sehat bayar pajak sejatinya tertuju pada kepentingan umum seperti digagas Pound (1870-1964) sebagai keseimbangan kepentingan.
Dua hal dari makna kepentingan umum itu, yaitu pertama, kepentingan negara sebagai badan hukum dalam mempertahankan kepribadian dan hakekatnya. Kedua, kepentingan negara sebagai penjaga kepentingan sosial. Kepentingan-kepentingan tersebut harus ditata sedemikian rupa agar tercapai keseimbangan yang proporsional.
Akal sehat bayar pajak dalam hukum juga mengartikan bahwa setiap orang sudah memiliki kesadaran hukum (legal consciousness) atas keberadaannya di masyarakat. Seperti dinyatakan Soerjono (1987), kesadaran tersebut menyangkut empat faktor bahwa hukum telah diketahui, diakui, dihargai, dan ditaati.
Kacamata akal sehat dari dua ahli di atas hendak menyimpulkan jika pendekatan hukum yang digunakan menginginkan perubahan masyarakat yang terencana untuk lebih maju (law as tool of social engineering). Sebaliknya, pendekatan Machiavelli dapat meruntuhkan tertib hukum di masyarakat.
Begitupun dalam persoalan bayar pajak yang sejak 1983 sudah menyepakati keberlakuan sistem self-assessment dalam UU. Artinya, sejauh ini usia akal sehat bayar pajak sudah cukup dewasa. Karenanya, tidak dapat dimaklumi pendapat yang menyatakan tidak tahu aturan pajak. Karenanya, makna ignoranta legis excusat neminem (tiada maaf, bagi yang tidak tahu UU), mesti ditegakkan.
Bahkan, ketika menelusuri persoalan akal sehat bayar pajak dalam konteks filosofis, keberadaan seseorang dalam masyarakat hakikinya tidak berintikan individualisme, melainkan kebersamaan. Bukan man are created free and equal, tetapi man are created in togetherness which each others, begitu disebutkan Sidharta (2012- 6).
Makna itu juga dapat dibaca ketika Presiden Jokowi menerbitkan PP 45/2019 yang mengubah PP 94/2010 soal penghitungan penghasilan kena pajak dan pelunasan pajak penghasilan tahun berjalan. Pemberian fasilitas pajak dalam program link and match antara kebutuhan dunia usaha dan kemampuan SDM, menjadi inti PP tersebut.
Artinya, akal sehat juga dimaknai sebagai cara pemerintah terus melakukan berbagai kebijakan pajak membantu dunia usaha dan industri menumbuhkan kemampuan inovasi. Termasuk peningkatan daya guna ilmu pengetahuan dan teknologi secara berkelanjutan.
Memberi makna akal sehat pada ‘togetherness which each others’ pun terlihat nyata keberhasilannya ketika pada 2016 diterbitkan UU Pengampunan Pajak (tax amnesty) serta pada 2017 dengan UU Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan.
Tuntutan akal sehat bayar pajak adalah tuntutan semua pihak menciptakan kepentingan bersama. Norma yang disusun melalui UU, PP serta aturan lain menjadi patokan dan pegangan atas perbuatan hukum pajak untuk tujuan kebersamaan (togetherness). Itulah akal sehat pajak yang patut disadari.
Tidak bisa dipungkiri bahwa peradaban manusia berkembang karena ditopang pajak. Akal sehat bayar pajak memastikan jaminan keberlangsungan dan kemajuan peradaban manusia. Maka, menjadi tidak bijak jika ungkapan ‘pajak selalu memberatkan’ atau ‘tidak usah bayar pajak’, masih terdengar mengalir.
Ungkapan tersebut tentu kurang bijak dan serasa merendahkan nilai pribadi yang mengungkapkannya. Kita semua paham seluruh negara berpacu meningkatkan taraf hidup masyarakatnya. Namun, pada saat bersamaan acapkali terjadi pemikiran terbalik dan seakan ‘melawan’ akal sehat bayar pajak.
Lembaga pajak sudah menjadi kekuatan negara dan otomatis sudah menjadi alat penopang kepentingan bersama yang jauh berbeda pada makna yang dikemukakan Machiavelli. Karenanya, publik mesti menyadari sistem pajak yang tepat, termasuk jika terjadi sengketa dalam sistem dimaksud.
Itu sebabnya Cicero menyatakan ‘ubi societas ibi ius’ (dimana ada masyarakat, disitu ada hukum). Logika akal sehat hendak menegaskan keberlangsungan hidup serta jalan keluar dari sengketa/masalah (termasuk pajak) dilakukan dalam hukum (hukum pajak). Begitulah sikap bijaksananya.
Misalnya, ketika persinggungan pajak mengena pada pengusaha bernama Itje maupun Clara, logika akal sehat pajak mesti dituntaskan pada jalur hukum. Kepentingan demikian sejalan dengan maksud dan tujuan dari Pound untuk kepentingan sosial/umum, bukan kepentingan penguasa.
Gagasan hukum supaya menjadi panglima mesti dipraktekan dalam konteks segala urusan pajak. Bahkan, persoalan seperti itu sudah dipikirkan sejak dulu termasuk sejak ide kontrak sosial (social contract) digagas John Locke pada 1700-an. Tertibnya tatanan hidup masyarakat tidak lain dikarenakan adanya pemikiran hukum termasuk hukum pajak, bukan gagasan politik seperti digagas Machiavelli.
Mestinya kita dapat menghindarkan segala persoalan pajak dalam tataran politik semata seperti digagas Machiavelli. Namun tidak berarti politik tidak penting, karena hukum (UU) pajak pun terbentuk karena politik hukum penyusunan yang sudah terencana.
Dengan memahami pemikiran Machiavelli yang kurang tepat, patutlah kita merenungkan ulang. Dengan cara itu, kita berharap ruang potensi keberhasilan pajak di akhir 2019 serta dengan dukungan akal sehat bayar pajak, bisa menjadi dua faktor tak terpisahkan dan menjadi kekuatan hadirnya kesejahteraan (kebahagiaan) yang dinantikan.