Bisnis.com, JAKARTA — Investasi perkebunan kelapa sawit secara berkelanjutan terancam turun seiring dengan minimnya insentif yang diterima oleh pelaku usaha atas produk sawit yang bersertifikat.
Managing Director Sustainability and Strategic Stakeholders Engagement Sinarmas Agribisnis and Pangan Agus Purnomo mengatakan bahwa fluktuasi harga dan penyerapan sawit yang rendah menjadi kendala utama dalam mewujudkan perkebunan yang berkelanjutan. Produksi minyak sawit bersertifikat Roundtable Sustainable Palm Oil (RSPO) sebanyak 13 juta ton, hanya 7 juta ton yang diserap Uni Eropa.
“Premium price [insentif] dari Uni Eropa sedikit-sedikit mulai menutup. Kalau tren berlanjut [dari energi] ke nonenergi, premium price bagi kami akan hilang [seluruhnya]. Maka untuk penuhi persyaratan RSPO dan ISPO [Indonesian Sustainable Palm Oil] akan memberatkan apalagi harga minyak stagnan pada level rendah dalam 3 tahun terakhir,” katanya kepada Bisnis, Kamis (9/5).
Agus mengatakan bahwa secara perlahan, permintaan produk minyak sawit berkelanjutan atau (crude palm oil/minyak sawit) CPO hijau semakin berkurang. Padahal, produsen lokal mampu menghasilkan CPO bersertifikat lebih besar dari permintaan besar.
Menurutnya, jika penyerapan CPO bersertifikat makin berkurang, pengembangan perkebunan sawit berkelanjutan juga ikut berkurang. Pasalnya, sampai saat ini, produsen minyak sawit masih tergantung dengan pasar Uni Eropa untuk menjual minyak sawit berkelanjutan (sustainable palm oil/SPI). Menurutnya, ada semacam kampanye di Benua Biru untuk menyudutkan produk dengan bahan baku sawit. Padahal, tuntutan produk berkelanjutan sudah dipenuhi. “Virus antiminyak sawit di mana-mana. Kalau sekarang baru energi mungkin nanti pindah ke kosmetik, obat, dan makanan. Maka hilanglah insentif untuk SPI. Bukan energi yang dikejar, tapi sawitnya memang yang dimusuhi.”
Agus mengatakan, Sinar Mas sudah mulai membuka pasar Jepang, China, negara kawasan Timur Tengah, dan negara-negara berkembang lainnya. Namun, pasar tersebut tidak ada yang menuntut sertifikasi keberlanjutan.
Perseroan juga sudah selesai dalam berinvestasi pada skema berkelanjutan. Jadi, Agus menilai bahwa hal yang telah selesai diinvestasikan tidak akan ditarik. Namun, perseroan tidak akan berinvestasi lebih dari itu bila permintaan atau kepastian pasar tidak diberikan.
“Sekarang buat apa menambah investasi pada methane capture senilai US$4 juta—US$5 juta ke depannya bila tidak ada insentif. Itu dampak konkret dengan tidak ada pembelian [Uni Eropa] maka tidak ada methane capture,” katanya.
Selain itu, menurutnya, pemerintah akan sulit menjaga ekosistem hutan sekitar kebun yang selama ini dituntut oleh lembaga sertifikasi. “Masyarakat sekitar kebun itu ingin merambah hutan jadi kalau SPI tidak terbeli akan berat bagi kami dan pemda untuk menjaganya karena perlu biaya.”
Wakil Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Bidang Perdagangan dan Keberlanjutan Togar Sitanggang justru mempertanyakan komitmen Uni Eropa dan RSPO terhadap program keberlanjutan yang selama ini dituntut. Pasalnya, Indonesia sudah mengikuti aturan main yang disepakati tetapi pembelian justru makin terkontraksi. “Sekarang itu produk minyak sawit bersertifikat 13 juta ton, tetapi paling yang terjual sebagai produk premium hanya 5,5 juta ton. Sisanya tetap terjual, tapi sebagai produk biasa,” katanya.
Menanggapi hal itu, Direktur Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) Indonesia Tiur Rumondang menegaskan, pihaknya memang tidak pernah ikut campur dalam soal harga sejak awal. Harga, lanjutnya, adalah kesepakatan antara kedua belah perusahaan.
“Kami pantau harga tapi tidak bisa berkomentar banyak supaya ada kenaikan harga. Harga murni ditentukan demand dan supply. Kita hanya membuat standar baku yang bisa mendorong supply atau menaikkan demand kelapa sawit secara umum,” tegasnya.
Direktur Penghimpunan Dana Badan Layanan Umum, Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit Herdrajat Natawijaya mengatakan, pihaknya akan selalu ada tantangan dalam menjalankan upaya berkelanjutan