Penerimaan perpajakan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2019 ditargetkan sebesar Rp1.786,4 triliun atau tumbuh 15,4 persen dari APBN 2018 dengan tax ratio sebesar 12,2 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Dari target sebesar Rp1.786,4 triliun tersebut, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) diberikan amanat untuk mencapai target penerimaan pajak sebesar Rp1.577,6 triliun atau meningkat 20,1 persen dari realisasi penerimaan pajak 2018.
Pencapaian target penerimaan perpajakan tersebut diharapkan dapat sejalan dengan target pertumbuhan PDB tahun 2019 yaitu sebesar 5,3 persen. Hal ini merupakan tantangan besar bagi DJP agar target pajak tersebut dapat terealisasi, sehingga pada gilirannya dapat membiayai pembangunan.
Dari survei kuartal I/2019 yang dipublikasikan oleh BI mengindikasikan bahwa perekonomian kuartal I/2019 diperkirakan tumbuh sebesar 5,13 persen, lebih tinggi dibandingkan dengan realisasi kuartal I/2018 sebesar 5,06 persen.
Kinerja perekonomian diperkirakan kembali meningkat di kuartal II/2019 dengan pertumbuhan sebesar 5,16 persen, dan terus meningkat hingga kuartal IV/2019.Secara teori, ketika perekonomian meningkat maka penerimaan pajak juga ikut meningkat.
Lebih lanjut, berdasarkan kinerja APBN 2019 kuartal pertama yang dipublikasikan Kementerian Keuangan, diketahui bahwa penerimaan pajak telah mencapai Rp248,98 triliun atau sebesar 15,78 persen dari target atau tumbuh sebesar 1,82 persen dibandingkan dengan kuartal I/2018. Namun demikian, pencapaian kuartal I/2019 lebih rendah dibandingkan dengan periode yang sama pada 2018 sebesar 17,17 persen.
Hal ini memperlihatkan bahwa kinerja penerimaan pajak kuartal I/2019 mengalami penurunan. Dapat dikatakan bahwa kinerja penerimaan pajak tidak sejalan dengan peningkatan perekonomian. Untuk itu, pemerintah perlu mengantisipasi permasalahan tersebut agar tidak berlanjut ke triwulan berikutnya.
Menurunnya kinerja penerimaan pajak kuartaln I/2019 di satu sisi disebabkan antara lain oleh restitusi Pajak Pertambahan Nilai dan pengenaan tarif pajak rendah setengah persen bagi Usaha Menengah Kecil dan Mikro (UMKM). Hal ini berdampak jangka pendek terhadap penerimaan pajak tetapi dalam jangka panjang akan menstimulus pertumbuhan ekonomi.
Di sisi lain, terdapat permasalahan yang perlu mendapat perhatian khusus dari pemerintah yang diindikasikan sebagai penyebab menurunnya penerimaan pajak, yaitu skema penggelapan pajak melalui aktivitas underground economy dan praktek penghindaran pajak global (Base Erosion and Profit Shifting/BEPS).
Aktivitas underground economy, yang dikenal sebagai shadow economy, adalah aktivitas ekonomi legal maupun ilegal yang disembunyikan dari otoritas resmi dengan tujuan antara lain penghindaran pembayaran pajak, penghindaran birokrasi pemerintah, pemanfaatan kualitas institusi politik, dan aturan hukum yang lemah.
Medina dan Schneider (2018) menemukan bahwa aktivitas underground economy di Indonesia sepanjang rentang 1991—2015 mencapai rata-rata 24,11 persen dari PDB. Adapun di negara-negara sekawasan lainnya seperti Thailand, Vietnam, Malaysia, dan Filipina masing-masing memiliki nilai rata-rata sebesar 50,63 persen, 18,70 persen, 31,49 persen, dan 39,31 persen. Terlihat bahwa aktivitas shadow economy RI lebih rendah dari Thailand, Malaysia, dan Filipina.
Namun demikian, dalam kurun waktu 2010—2015 aktivitas underground economy di Thailand, Malaysia, dan Filipina mengalami penurunan cukup signifikan. Sebaliknya Indonesia dan Vietnam cenderung konstan.
Celah sebesar 24,11 persen dapat diartikan bahwa tingkat kepatuhan wajib pajak di Indonesia masih rendah. Praktik underground economy inilah yang akan menyebabkan tax ratio tidak sejalan dengan pertumbuhan PDB.
Praktik BEPS umumnya dilakukan perusahaan multinasional untuk menggerus basis penerimaan pajak dan memindahkan profit usaha melalui skema transfer pricing ke negara atau juridiksi yang menerapkan tarif pajak rendah.
PENGGELAPAN PAJAK
Dalam kaitan itu, Penanaman Modal Asing (PMA) di Indonesia sebagai anak perusahaan dari perusahaan induk di luar negeri berpotensi melakukan penggelapan pajak melalui praktik BEPS dengan skema transfer pricing.
Hal ini perlu diantisipasi oleh otoritas pajak melalui penggalian potensi dengan dukungan regulasi yang memadai terhadap perusahaan PMA yang terindikasi mengalami kerugian tidak normal dan tidak membayar pajak lebih dari lima tahun, karena transaksi afiliasi yang erat kaitannya dengan modus transfer pricing.
Penurunan penerimaan pajak akibat praktik shadow economy dan transfer pricing dapat dianalogikan dengan film Avengers: Endgame. Intisari film tersebut adalah tokoh antagonis yaitu Thanos yang berniat mengurangi setengah kehidupan di alam semesta, akhirnya dikalahkan tokoh protagonis yaitu Avengers yang pada akhirnya mengembalikan kondisi semesta seperti semula.
Dengan menganalogikan kisah tersebut ke dalam kondisi penerimaan pajak di Indonesia maka dapat dikatakan bahwa tokoh antagonis adalah wajib pajak yang menggurangi penerimaan pajak melalui skema tax evasion dan otoritas pajak sebagai tokoh protagonis yang bertugas mengumpulkan pundi-pundi penerimaan pajak agar pemerintahan dapat berjalan sebagaimana mestinya.
Berbeda dengan akhir cerita Avengers: Endgame tersebut, dengan melihat kondisi penerimaan pajak triwulan I/2019 dapat dikatakan bahwa perang terhadap penggelapan pajak belum selesai, the game is not ended yet mengingat underground economy dan transfer pricing masih terindikasi terjadi dan berdampak pada penerimaan pajak di Indonesia saat ini.
Dengan demikian pemerintah perlu segera mengantisipasi praktek underground economy dan transfer pricing melalui reformasi perpajakan yang berkelanjutan. Saat ini DJP dalam proses pelaksanaan Reformasi Perpajakan Tahap III melalui reformasi sistem teknologi informasi dan proses bisnis.
Diharapkan reformasi perpajakan tersebut akan mengurangi praktek penggelapan pajak, sehingga penerimaan pajak dapat meningkat secara optimal sejalan dengan pertumbuhan ekonomi nasional.
Jefry Batara Salebu
Anggota International Fiscal Association Indonesia Branch