Bisnis.com, JAKARTA - Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia dalam dapat diperkuat dengan ketersediaan kelompok makanan kuliner yang tersebar dari seluruh daerah di Indonesia.
“Sekarang ini kuliner tidak hanya menjadi sekadar hasil olahan masakan, tetapi juga merupakan sebuah gaya hidup, sehingga memiliki nilai ekonominya yang semakin bertambah apalagi bila sudah terkait dengan wisata kuliner,” ungkap Ketua Komite Tetap Ketahanan Pangan, Franky Welirang di Menara Kadin Indonesia, Kamis (25/4/2019).
Menurutnya, kuliner merupakan bagian dari ketahanan pangan karena sudah erat dengan kebutuhan sehari-hari. Sehingga perlu sudut pandang yang lebih luas untuk melihat potensi dan mengembangkan kuliner sebagai industri.
“Dilihat secara bisnis dapat kita lihat sekarang ini hampir sebagian besar karyawan perusahaan makan di warteg, berbagai acara menggunakan jasa catering yang juga memasok rumah-rumah, perusahaan, dan rumah sakit. Juga restoran yang menawarkan kuliner dengan leisure (kesenangan),” kata Franciscus yang akrab disapa Franky itu.
Pihaknya mengaku, saat ini tengah menyusun rekomendasi untuk pemerintah dalam memperkuat dan mengembangkan industri kuliner Indonesia berbahan baku lokal dalam rangka mendukung ketahanan pangan nasional tahun 2019-2024. Franky mengatakan yang diperlukan saat ini adalah strategi dan kebijakan yang harus disiapkan untuk mencapai itu.
Menurutnya, kuliner adalah turunan produk pertanian yang paling dekat dengan konsumen. Diantara kuliner dan konsumen ada Badan Pengawas Obat dan Makanan (POM), sehingga yang harus diperhatikan adalah mengenai olah proses untuk menjamin kelayakan produk dan kesehatan konsumen.
Baca Juga
Dewan Pembina Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia Bayu Krisnamurthi mengatakan sektor ini harus mendapat perhatian yang lebih besar. Sehingga ke depan, Indonesia harus lebih bijak dalam pemanfaatan lahan dan lebih efisien dalam pengelolaan sektor pertanian.
“Sekarang kondisi kita sedang tidak berlebih. Sehingga perlu langkah-langkah operasional yang lebih efisien. Lahan terbatas, tapi kebutuhan meningkat. Ini bisa diatasi, tetapi harus dengan cerdas. Misalnya dengan mulai terbuka dengan berinvestasi pengolahan lahan pertanian di luar negeri,” kata Bayu.
Selain itu, Bayu juga berharap Indonesia dapat mempercepat perpindahan praktik pertanian konvensional ke modern. Serta memanfaatkan kekayaan pengalaman para ahli di sektor pertanian.Kekhawatiran akan naiknya nilai pajak itulah yang dirasa Agus membuat para UMKM agak enggan untuk disertifikasi produk kayunya karena akan berpengaruh terhadap biaya produksi mereka.
Oleh karena itu, Agus menilai bahwa pemerintah perlu memberikan kebijakan fiskal pada 5 tahun-15 tahun pertama bagi para UMKM yang sudah memiliki SVLK yaitu dengan meminimalkan nilai pajak penerimaan negara (PPN) bagi pelaku UMKM tersertifikasi tersebut.
"Kalau perlu di O persen kan PPN-nya," tandasnya.