Bisnis.com, JAKARTA--Efek revisi aturan impor besi dan baja diperkirakan mulai terasa pada kuartal II tahun ini.
Seperti diketahui, pemerintah melalui Kementerian Perdagangan telah mengubah aturan terkait impor besi dan baja dari Permendag 22/2018 menjadi Permendag 110/2018. Beleid baru ini mulai berlaku pada 20 Januari 2019.
Silmy Karim, Chairman the Indonesian Iron & Steel Industry Association (IISIA), sebelum aturan revisi berlaku, para pengimpor mempercepat pengiriman ke dalam negeri dan memaksimalkan penggunaan izin impornya. Baja dari luar negeri diprediksi terus masuk hingga Maret 2019.
"Saat ini sudah mulai kelihatan gregetnya, tetapi baru efektif nanti kira-kira April," ujarnya belum lama ini.
Menurut Silmy, gempuran produk impor yang masuk melalui praktik circumvention dan tidak memenuhi standar dalam negeri, menyebabkan turunnya tingkat utilitas pabrikan baja nasional. Dia menyebutkan terdapat beberapa pabrik yang kapasitas produksinya hanya setengah atau seperempat dari kapasitas terpasang.
Oleh karena itu, dia menyambut baik kebijakan pemerintah untuk merevisi aturan impor besi dan baja melalui Permendag 110/2018 karena sulit bagi industri nasional untuk bersaing dengan produk impor yang harganya 20% lebih murah. Harga yang lebih rendah ini disebabkan produsen baja di China mendapatkan tax rebate sebesar 20%.
"Kalau secara fair, kami bisa bersaing. Kami perjuangkan revisi aturan kemarin untuk meminta keadilan, melindungi karyawan, serta industri dalam negeri," katanya.
Lebih jauh, pria yang juga menjabat sebagai Direktur Utama PT Krakatau Steel (Persero) Tbk. ini juga berharap ke depan investasi asing yang masuk ke dalam negeri harus menggandeng perusahaan lokal. Dengan demikian, perusahaan nasional merasakan efek investasi asing, misalnya transfer teknologinya.
Terkait dengan revisi aturan impor besi dan baja, Airlangga Hartarto, Menteri Perindustrian, sebelumnya mengatakan pengaturan tata niaga untuk komoditas besi dan baja yang dilakukan pemerintah melalui revisi Permendag 22/2018 disebabkan oleh kasus khusus, yaitu baja karbon impor yang dilarikan menjadi alloy steel dengan penambahan boron. Sejatinya, impor baja karbon yang digunakan untuk konstruksi dikenakan bea masuk sekitar 10%--15%.
Dengan penambahan lapisan materi lain, seperti boron dan chrome, yang sangat tipis, maka baja karbon tersebut berubah menjadi alloy steel sehingga mendapatkan bea masuk yang rendah sebesar 0%--5%.
"Oleh karena itu, kami lakukan pencegahan, salah satunya lewat PLB supaya bisa dimonitor. Kemarin kan di post border, sekarang ke PLB," katanya.
Pemerintah saat ini sedang mengembangkan beberapa klaster industri baja untuk meningkatkan produksi nasional, seperti di Cilegon, Banten yang ditargetkan bisa memproduksi hingga 10 juta ton baja pada 2025. Selain itu, Kemenperin mempercepat pembangunan klaster industri baja di Batulicin, Kalimantan Selatan dan Morowali, Sulawesi Tengah.