Bisnis.com, JAKARTA--Pemerintah menjalankan strategi pembiayaan anggaran dengan meningkatkan volume penerbitan surat utang di awal 2019.
Per akhir Januari 2019, pemerintah telah merealisasikan penerbitan SBN neto senilai Rp 119,537 triliun. Nilai tersebut sudah mencapai 30,73% dari total penerbitan SBN neto yang ditargetkan dalam APBN 2019.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memastikan pemerintah tetap menjaga penerbitan surat utang sesuai dengan amanat Undang Undang.
Dengan proyeksi defisit anggaran sebesar 1,84% PDB di sepanjang 2019, terdapat kebutuhan pembiayaan untuk menutup defisit anggaran sekitar Rp296 triliun.
"Itu berarti kita akan menerbitkan surat berharga sebesar itu, plus, menerbitkan juga untuk rollover utang jatuh tempo. Dan dari profil utang sebelumnya, nilai jatuh temponya cukup besar," ujarnya di Jakarta (28/2).
Dirinya menyampaikan akan terus menyeimbangkan komposisi penerbitan surat berharga negara dalam denominasi Rupiah maupun valas sesuai kebutuhan pembiayaan sepanjang tahun ini.
"Jadi artinya, penerbitan SBN kita lakukan sesuai dengan kebutuhan. Saya menerbitkan surat utang bukan karena hobi, tapi karena itu adalah amanat Undang Undang," ujarnya.
Sri Mulyani turut mengungkapkan penerbitan surat utang dalam denominasi valas yang gencar dilakukan sejak kuartal akhir tahun lalu berhasil meningkatkan arus modal masuk, sehingga juga berimplikasi positif dengan ikut meredam tekanan terhadap nilai tukar Rupiah.
"Pak Gubernur BI yang dulu juga bilang bahkan bu segera issue dong dalam denominasi luar. Jadi itu bersama, meski seolah saya yang ngeluarin utang, tapi itu kami lakukan juga demi mengelola stabilitas ekonomi bersama," ujarnya.
Meski demikian, kenaikan suku bunga yang terjadi di sepanjang tahun lalu disebutnya turut mempengaruhi pembentukan yield relatif tinggi. Dengan demikian, tingginya yield surat berharga negara juga akan membuat beban pembayaran bunga lebih tinggi.
"Memang kita tidak bisa tidak terimbas oleh kenaikan suku bunga BI, saat itu inflow sangat rendah dan mengering, sementara suku bunga BI naik. Dan kami harus tetap melakukan auction, itu tidak terhindarkan," ujarnya.
Dirinya mengatakan juga sudah memerintahkan kepada Direktorat Jenderal Pajak untuk melakukan penyesuaian perpajakan pada berbagai instrumen investasi. Hal itu juga dilakukan untuk memitigasi resiko perebutan dana (crowding out) dengan sektor keuangan dalam menyerap likuiditas.
Seperti diketahui, tarif pajak yang dikenakan terhadap bunga deposito terbilang lebih tinggi bila dibanding instrumen obligasi. Bunga obligasi terkena pajaknya sebesar 15%, sedangkan deposito berjangka sebesar 20%.
"Seperti mengenai tax dan berbagai perbandingan dengan instrumen lain, saya sudah meminta Direktorat Jenderal Pajak untuk melihat seluruh instrumen itu agar dalam setiap instrumen berjalan level playing field yang comparable," ujarnya.