Bisnis.com, JAKARTA - Pelaku usaha sapi potong berharap ada garis batas yang jelas antara industri penggemukan dan pembibitan apabila kerjasama Comprehensive Economic Partnership Agreement (CEPA) antara Indonesia-Austaralia ditandatangani.
Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Bidang Pengolahan Makanan dan Industri Peternakan Juan Permata Adoe mengatakan dalam kewajiban penyertaan 1 ekor indukan dalam tiap 5 impor sapi bakalan (5:1) masih ada hal abu-abu yang tidak jelas. Pasalnya industri penggemukan dan pembibitan adalah dua sektor yang berbeda.
"Kebijakan harus lebih clear, wajib impor indukan atau bibit. Bibit dan indukan disini masih dalam tahap research and development. Kalau bibit atau indukan yang benar bagus harganya US$3.000 sedangkan bakalan US$2000. Itu kan tidak mudah dihitung [labanya]," katanya kepada Bisnis, belum lama ini.
Menurut Juan, sebagai win-win solution seharusnya pelaku usaha diperbolehkan mengimpor indukan atau bibit, tapi harus terpisah tidak disatukan dengan usaha penggemukan.
Dia mengatakan apabila kerjasama antara kedua negara berjalan lancar akan berimbas positif pada industri sapi potong Tanah Air. Pasalnya pelaku usaha yang semula harus bayar bea masuk impor sebesar 5% akan menjadi nol.
"Mudah-mudahan kalau perjanjian kerjasama berjalan lancar dan CEPA disepkati punya nilai positif pada industri. Kuota impor sapi bakalan sebesar 575.000 ekor bea masuknya akan nol. Tapi bea masuk daging tetap 2,5%," katanya.
Akan tetapi, kebijakan tersebut tidak serta merta membuka pintu impor seluas mungkin. Juan menjelaskan yang mendapat bea masuk nol hanya sapi bakalan sebesar 575.000 ekor atau setara dengan 287.976 ton masih dibawah kebutuhan nasional yang diperkirakan mencapai 686.270 ton.
Apabila kuota yang telah ditetapkan sudah habis, pelaku yang ingin mengimpor masih boleh tapi akan dikenai bea masuk impor 5%. "Orang yang masukin lebih dari itu akan tetap bayar bea masuk," katanya.
Juan mengatakan dalam payung komunikasi yang terjalin antara dua negara, kebijakan importasi sapi dan pembibitan akan mengacu pada CEPA nantinya. Sehingga ada kemungkinan program 5:1 pemerintah dimana pelaku usaha penggemukan wajib mengimpor satu indukan untuk setiap lima bakalan kemungkinan akan diubah.
"Evaluasi masih menunggu kebijakan dari keputusan CEPA. Kalau CEPA terjadi kebijakan 5:1 akan mengikuti keputusan kerjasama. Bibit dan bakalan ditangani secara terpisah," pungkasnya.
Sebelumnya, Juan pernah menjelaskan satu sapi indukan membutuhkan modal US$3.000/ekor. Ditambah biaya produksi perhari sekitar US$1/hari untuk pakan dan tenaga kerja. Padahal, paling lambat sapi tersebut bisa dipotong setelah 33 bulan. Artinya biaya yang dikeluarkan pelaku usaha US$3.900/ekor belum termasuk biaya transportasi dari negara asal.
Lalu kalau dibandingkan dengan penggemukan sapi bakalan, pelaku usaha membutuhkan modal US$2,8/kg sapi. Minimal rata-rata sapi bakalan yang didatangkan itu berbobot 300 kilogram, jadi modal yang dibutuhkan US$840/ekor.
Kemudian ditambah biaya produksi sekitar US$1,5/kg untuk pakan, konsentrat dan tenaga kerja. Tapi waktu panen yang dibutuhkan sekitar 2—4 bulan untuk mencapai bobot ideal 450 kg—500 kg. Artinya modal usaha yang diperlukan oleh pelaku sekitar US$1.020/kg.
"Kalau bakalan lebih mahal untuk pakan karena kita kerja berat berusaha menggemukan. Fokus kami disitu. Working capital kami itu untuk jangka pendek. [Model pembibitan] tidak cocok kalau dipaksakan, pipe line kita tinggal tungggu kuat sampai mana," katanya.
Adapun saat ini, Kementerian Pertanian juga sedang mengkaji ulang kebijakan 5:1 tersebut dapat diteruskan atau harus dimodifikasi.
Perihal hal tersebut Juan mengatakan memang regulator sedang menyelidiki pihak mana saja yang belum merealisasikan impor indukan. Evaluasi tersebut yang akan menjadi acuan bagi pemerintah untuk mengambil kebijakan selanjutnya.
Kendati demikian, kebijakan baru menurutnya akan menyesuaikan dengan perjanjian kerjasama antara Indonesia-Australia. "Evaluasi masih menunggu kebijakan dari keputusan CEPA. Kalau CEPA terjadi kebijakan 5:1 akan mengikuti keputusan kerjasama. Bibit dan bakalan ditangani secara terpisah," pungkasnya.
Mulai 2017, Kementerian Pertanian menetapkan kewajiban 5: 1 itu melalui Permentan no.2/2017 tentang Pemasukan Ternak Ruminansia Besar ke dalam Wilayah Negara Republik Indonesia. Berdasarkan catatan Ditjen PKH antara 2017-2018 sudah masuk 776.976 ekor bakalan ke dalam negeri. Pada 2017 sudah masuk 473.025 ekor bakalan dan pada 2018 sudah masuk 353.790 ekor bakalan.
Dengan skema 5:1, harusnya indukan yang masuk berjumlah 155.395 ekor, tapi realisasinya sampai dengan saat ini baru 21.145 ekor atau setara 13,6%. Artinya masih ada kekurangan sebanyak 134.250 ekor.