Bisnis.com. JAKARTA — Kebijakan pemerintah untuk mewajibkan penggunaan asuransi dan angkutan laut nasional berpotensi menganggu kinerja ekspor minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) dan batu bara.
Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia mengatakan, selama ini pemerintah tak kunjung memberikan data perusahaan asuransi nasional yang memiliki kapasitas untuk menjamin proses pengkapalan batu bara. Padahal, informasi tersebut sangat penting bagi para importir di luar negeri.
“Selama ini ekspor batu bara menggunakan skema cost, insurance and freight (CIF) yang kesemuanya diurus oleh importir dari luar negeri. Ketika ada ketentuan baru, para importir harus segera melakukan penyesuaian, padahal aturan tersebut mulai berlaku 1 Februari 2019, mepet sekali,” ujarnya kepada Bisnis.com, Senin (21/1/2019).
Dia pun mengklaim, APBI telah beberapa kali mengundang perusahaan-perusahaan asuransi nasional untuk menawarkan jasa penjaminan proses pengkapalan untuk ekspor. Namun, belum ada asuransi nasional yang serius untuk menggarap potensi tersebut.
“Kami juga meminta pemerintah untuk melaksanakan sesi uji coba selama sebulan, sebagai bentuk persiapan. Namun, usulan kami tidak ditanggapi, dan tahu-tahu sudah muncul petunjuk teknis dari Kemendag itu,” jelasnya.
Selain itu, dia juga meragukan kemampuan kapal nasional untuk mengangkut ekspor batu bara. Pasalnya, hingga saat ini hanya sekitar 2% aktivitas ekspor batu bara yang menggunakan kapal domestik.
Sekadar catatan, dalam petunjuk teknis Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kemendag mengenai Peraturan Menteri Perdagangan No.82/2017, yang diterbitkan pada 16 Januari 2019, para eksportir CPO dan batu bara wajib menggunakan asuransi nasional. Ketentuan itu wajib dilakukan mulai 1 Februari 2019.
Sementara itu, implementasi kewajiban penggunaan angkutan laut nasional untuk produk yang sama masih dalam tahap penyusunan petunjuk teknis. Namun demikian, kebijakan itu akan dilakukan mulai 1 Mei 2020.
Wakil Ketua Umum Bidang Perdagangan dan Keberlanjutan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Togar Sitanggang mengatakan, potensi hambatan kepada proses ekspor CPO melalui kebijakan itu cukup besar.
“Ada potensi terhambat, karena para importir harus mengurus ulang proses free on board [FOB] dari awal. Karena mereka harus mencari asuransi nasional mana yang layak menurut mereka,” jelasnya.
Untuk itu, dia berharap pemerintah benar-benar telah mempertimbangkan kemampuan asuransi nasional untuk menanggung instruksi yang terdapat di permendag tersebut. Pasalnya, apabila asuransi nasional tidak siap, maka akan membuat kepercayaan konsumen turun.
Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Energi dan Migas Bobby Gafur Umar mengatakan, kebijakan pemerintah tersebut cukup tepat. Hal itu dinilai olehnya akan meningkatkan daya saing industri penunjang batu bara dan CPO. Dia mengakui industri asuransi dan perkapalan untuk ekspor CPO dan batu bara belum berkembang dengan baik.
“Memang industri asuransi dan kapal belum berkembang dengan baik. Karena merka selama ini mereka kalah saing dengan perusahan asing. Namun dengan mandatori seperti ini, bisa menjadi pemacu agar produk lokal kita meningkat daya saingnya,” jelas dia.
Adapun, sebelumnya pada 17 Januari lalu, negara anggota Consultative Shipping Group (CSG) menemui Dirjen Perdagangan Luar Negeri Oke Nurwan untuk meminta penjelasan mengenai Permendag No 82/2017. Pasalnya, anggota CSG menilai, aturan tersebut menghambat perdagangan jasa angkutan laut asing di Indonesia.
Namun Oke mengatakan, aturan itu tidak bersifat menghambat. Pasalnya aturan itu membuka peluang perusahaan-perusahaan asuransi dan angkutan laut asing yang ingin berinvestasi dengan perusahaan lokal.
“Kami paham kekhawatiran CSG, tetapi kami tegaskan juga aturan ini tidak bersifat membatasi karena keterlibatan perusahan asing tetap dibuka,” jelasnya, seperti dikutip dari keterangan resminya.