Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Pemerintah Minta Kajian RUU Konservasi Hayati Diperdalam

Pemerintah menganggap masih diperlukan pendalaman secara mendasar terkait rancangan undang-undang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, khususnya mengenai filosofi konservasi dan prinsip-prinsip ekologi yang akan berpengaruh terhadap konstitusionalitas serta implementasi ke depannya.
Seekor anak beruang madu Sumatra (Helarctos malayanus) berusia empat bulan hasil sitaan berada di kandang rehabilitasi satwa Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh di Aceh Besar, Aceh, Jumat (28/12/2018)./ANTARA-Irwansyah Putra
Seekor anak beruang madu Sumatra (Helarctos malayanus) berusia empat bulan hasil sitaan berada di kandang rehabilitasi satwa Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh di Aceh Besar, Aceh, Jumat (28/12/2018)./ANTARA-Irwansyah Putra

Bisnis.com, JAKARTA – Pemerintah  menganggap masih diperlukan pendalaman secara mendasar terkait rancangan undang-undang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, khususnya mengenai filosofi konservasi dan prinsip-prinsip ekologi yang akan berpengaruh terhadap konstitusionalitas serta implementasi ke depannya.

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya yang mewakili pemerintah sekaligus koordinator dalam pembahasan rancangan undang-undang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya (RUU KSDAHE)  meminta waktu pada DPR untuk bersama-sama mempersiapkan RUU ini secara mendasar, komprehensif dan sistematis.

“Pemerintah mengusulkan untuk diberikan waktu agar dapat bersama-sama antara Pemerintah dan Komisi IV DPR RI untuk mempersiapkan RUU KSDAHE secara mendasar, komperhensif, dan sistematis. Hal tersebut [perlu] dilakukan mengingat penting dan strategisnya pengaturan tentang konservasi sumber daya alam,” ujar Siti saat rapat kerja dengan Komisi IV DPR RI di Gedung MPR DPR, Jakarta (15/1).

RUU tentang KSDAHE merupakan RUU inisiatif DPR RI yang disampaikan kepada Presiden Joko Widodo melalui surat Ketua DPR RI Nomor LG/2358/DPR RI/XII/2017. Kemudian, Presiden melalui Surat Nomor B-14/Pres/03/2018 tanggal 09 Maret 2018 kepada Ketua DPR RI menugaskan kepada Menteri LHK, Menteri Kelautan dan Perikanan, Menteri Pertanian, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia sebagai wakil Pemerintah untuk membahas RUU tentang KSDAHE

RUU KSDAHE memuat 18 Bab dan 158 Pasal. Secara umum, RUU ini memuat pokok-pokok yang mengatur mengenai hubungan negara, masyarakat hukum adat, serta orang dengan sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Kemudian memuat perencanaan, perlindungan dan pemanfaatan, pemulihan, serta kewenangan pemerintah pusat dan daerah. Selain itu, terdapat Bab tentang pendanaan, partisipasi masyarakat, kerjasama internasional, pembinaan dan pengawasan serta penyelesaian sengketa.

Pemerintah menilai RUU KSDAHE yang merupakan RUU inisiatif dari DPR RI tersebut didalamnya masih terdapat pasal-pasal yang belum sesuai dengan filosofi konservasi dan prinsip dasar ekologi.

“Selain itu, RUU ini juga belum sejalan secara filosofis universal tentang konservasi, pun dengan pasal 33 ayat (3) UUD 1945,” ujar Siti.

Ada beberapa catatan penting dari pihak pemerintah terkait alasan mengapa RUU KSDAHE ini masih memerlukan waktu untuk dikaji. Pertama, terkait dengan filosofi dasar konservasi di dalam RUU KSDAHE,  Siti Nurbaya menyebutkan bahwa terjadi perubahan konsep pengelolaan konsevasi pada RUU KSDAHE yang tertulis di pasal 1 angka 1 menjadi Perlindungan, Pemanfaatan, dan Pemulihan sedangkan konsepsi dasar yang digunakan pada UU Nomor 05/1990 tentang KSDAHE adalah Perlindungan, Pengawetan dan Pemanfaatan.

Siti menjelaskan konsepsi dasar UU Nomor 05/1990 tersebut diadopsi dari Strategi  Konservasi Dunia (World Conservation Strategi) yang bersifat universal.

“Seperti dipahami bersama bahwa konsepsi dasar akan membangun materi pengaturan dan akan berpengaruh pada materi pengaturan yang sudah ada,” ujarnya.

Kedua, Siti juga menyebut pada Pasal 4 ayat (1) RUU yang membagi lingkup wilayah KSDAHE menjadi konservasi yang dilakukan di wilayah darat, konservasi yang dilakukan di wilayah perairan dan konservasi yang dilakukan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

Dalam kaitan ini, pemerintah beranggapan bahwa sesungguhnya KSDAHE didasarkan atas ekosistem yang utuh, sebagai bentang alam yaitu lansekap dan ekosistem, satu dengan yang lain saling berkaitan atau Ecosystem Based Management.

“Pemisahan konservasi antara wilayah daratan, perairan, pesisir, dan pulau-pulau kecil, tidak selaras dengan keilmuan tentang prinsip-prinsip dasar ekologi,” lanjutnya.

Ketiga, terkait dengan konsepi hak menguasai negara atas sumber daya alam, pemerintah menilai judul pada BAB III RUU KSDAHE tentang ‘Hubungan Negara, Masyarakat Hukum Adat, serta Orang Dengan Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya’ memberikan pemaknaan bahwa Negara, Masyarakat Hukum Adat, dan Orang berkedudukan sebagai subyek hukum yang setara.

Kemudian isi pada Pasal 6 ayat (2) huruf C yang bunyinya menyerahkan sebagian pengelolaan sumber daya alam hayati dan ekosistemnya kepada badan usaha milik negara (BUMN) atau milik daerah, perguruan tinggi, dan badan usaha milik swasta nasional.

Hal tersebut dinilai bertentangan dengan hak penguasaan negara atas sumber daya alam yang tertuang pada pasal 33 ayat (3) UUD 1945 bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

“Penyerahan kewenangan pengelolaan KSDAHE kepada swasta atau korporasi, bertentangan dengan Pasal 33 ayat 3 UUD tahun 1945. Dalam kaitan ini maka sebenarnya pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar serta jasa lingkungan pada zona atau blok tertentu dari kawasan suaka alam [KSA] atau kawasan perlindungan alam [KPA] telah berlangsung melalui perizinan sesuai UU Nomor 5/1990. Lebih lanjut dalam hal mengatur masyarakat hukum adat dalam RUU ini tidak relevan dengan materi pokok pengaturan konservasi. Selain itu, saat ini sedang berproses RUU tentang Masyarakat Hukum Adat (MHA),” ujar Siti.

Selanjutnya, pemerintah juga kurang setuju dengan isi pada pasal 132 ayat 2 pada BAB VIII yang isinya berbunyi bahwa izin usaha pengelolaan diberikan di semua zona atau blok di wilayah kawasan suaka alam atau kawasan pelestarian alam. Pemerintah menilai, pemberian izin usaha pengelolaan pada semua zona atau blok kawasan suaka alam atau kawasan pelestarian alam untuk semua aktivitas pengelolaan tanpa ada batasan bertentangan dengan hak menguasai negara dan mengganggu kelestarian sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.

Kemudian ayat 3 yang berbynyi izin usaha pengelolaan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilakukan terhadap sumber daya genetik, spesies dan ekosistem yang meliputi perlindungan, pemanfaatan, pemulihan, pengamanan, rehabilitasi dan reklamasi, restorasi ekosistem, ilmu pengetahuan dan teknologi, sarana dan prasarana, serta pendanaan dan sumber daya manusia.

“Konsep usaha atau komersialisasi tidak relevan atau paradox dengan konsep konservasi. Jalan tengah yang diambil dan sudah berlangsung adalah pemanfaatan jasa lingkungan, bukan pengelolaan usaha sumber daya genetik, spesies, dan ekosistem,” papar Siti.

Pemerintah juga kurang setuju dengan isi pasal 154 yang berbunyi semua kawasan konservasi yang berada di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil perairan dan perairan pedalaman yang saat ini dikelola oleh menteri yang menangani urusan di bidang kehutanan dalam jangka waktu 2 tahun diserahkan kepada menteri yang menangani kelautan dan Perikanan.

“Pasal tersebut tidak sesuai dengan undang-undang Nomor 12 tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan lampiran 2 huruf C4 butir 127 bahwa ketentuan peralihan memuat penyesuaian pengaturan tindakan hukum atau hubungan hukum yang sudah ada berdasarkan peraturan perundang-undangan yang lama terhadap peraturan undang-undang yang baru,” jelasnya

Serta pasal 157 yang berbunyi peraturan pemerintah yang merupakan peraturan pelaksanaan undang-undang ini ditetapkan paling lama 1 tahun terhitung sejak undang-undang ini diundangkan sedangkan RUU ini mengamanatkan agar menelurkan 30 peraturan pemerintah.

“Pengaturan ini tidak relevan dalam undang-undang karena merupakan kewenangan penuh presiden hal ini telah diatasi dengan diterbitkannya Peraturan Presiden tentang rencana aksi nasional pengelolaan terpadu taman nasional dan kawasan konservasi perairan nasional,” tandasnya.

Anggota Komisi IV DPR RI Rahmad Handoyo mengatakan bahwa pihaknya menghormati permintaan pihak pemerintah untuk diberikan waktu guna melakukan pendalaman terhadap RUU KSDAHE.

“Parleman akan tetap menunggu kesiapan pemerintah dalam rangka tindak lanjut pembahasan RUU KSDAHE ini, setelah siap baru kita akan bahas bersama,” ujarnya kepada Bisnis, Selasa (15/1).


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper