Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Senjakala Bisnis Ritel Modern di Tanah Air

Suasana pusat perbelanjaan Neo Soho di Jakarta Barat mendadak lebih ramai dari biasanya. Bukan karena ada penyelenggaraan acara atau festival tertentu, melainkan karena adanya closing down sale yang diadakan oleh Central Department Store yang akan menutup gerainya di pusat perbelanjaan tersebut pada Februari mendatang.

Bisnis.com, JAKARTA -- Suasana pusat perbelanjaan Neo Soho di Jakarta Barat mendadak lebih ramai dari biasanya. Bukan karena ada penyelenggaraan acara atau festival tertentu, melainkan karena adanya closing down sale yang diadakan oleh Central Department Store yang akan menutup gerainya di pusat perbelanjaan tersebut pada Februari mendatang.

Heri, salah satu karyawan swasta asal Jakarta, menjadi salah satu dari keramaian itu. Tak tanggung-tanggung, dia bahkan datang lengkap bersama istri, anak serta asisten rumah tangganya untuk memanfaatkan momentum itu. Bersama-sama, keluarga itu datang sejak pukul lima sore, dan hingga pukul 18.00 masih berbelanja.

“Anak yang tahu infonya dan mau ke sini. Kita belanja parfum, baju, macam-macam. Biasanya sih tidak belanja di sini” ujarnya kepada Bisnis, Selasa (15/1) sambil menunggu istrinya yang tengah antre di kasir. Di samping tempat duduknya tergeletak satu kantong belanjaannya berukuran cukup besar hasil berburu diskon.

Dia menuturkan, produk yang paling banyak menawarkan diskon adalah parfum dan pakaian, dengan rentang 40% hingga 70%. Meskipun diskon, dia menilai konsumen tetap perlu untuk mengetahui harga asli barang yang diincar untuk dibeli, karena tidak semua barang mengalami diskon.

Dimas Wisnu Wardhana, Public Relations PT Central Retail Asia, mengaku cukup terkejut dengan antusiasme para pengunjung yang membludak. Setelah sempat diserbu pada hari cuci gudang pertama yang dimulai pada Senin (14/1), pihaknya pun kini memberlakukan sistem operasional buka-tutup untuk meminimalisasi risiko pencurian.

“Senang lihat antusiasme masyarakat. Kemarin memang penuh sekali, kita lihat kurang kondusif untuk yang jaga tenant juga dan produknya. Makanya mulai hari ini kita terapkan buka-tutup,” ujarnya.

Dengan sistem buka tutup, closing down sale dibuka hanya pada waktu-waktu tertentu, yaitu pukul 10:00, 14:00, 17:00, dan 20:00 dan ditutup pada pukul 22:00 WIB. Dari seluruh jenis barang yang dijajakan, dia menilai produk yang paling laris adalah parfum, pakaian wanita, tas, dan sepatu.

Dimas menuturkan, penutupan gerainya itu lebih karena perubahan strategi ekspansi yang dilakukan perseroan pada tahun ini yang mengarah ke omnichannel melalui program bernama Central On Demand, di mana pengunjung bisa berbelanja melalui aplikasi pesan seperti whatsapp dan line.

“Untuk penjualan gerai kemarin sebenarnya masih tumbuh hanya moderat, di kisaran 70%-80%, karena cabang yang ini dibuka bersama dengan mall-nya [Neo Soho] yang juga baru buka, sehingga kita belum tahu okupansinya,” ujarnya.

Dengan penutupan gerainya di Jakarta Barat, kini anak usaha perusahaan ritel asal Thailand itu hanya memiliki satu-satunya cabang yang terletak di Grand Indonesia, Jakarta Pusat. Menurut Dimas, perseroan bersikap hati-hati sebelum memutuskan untuk membuka gerai baru tahun ini. Mengembangkan omnichannel pun dianggap sebagai keputusan yang paling aman saat ini.

Awal tahun ini, industri ritel kembali diwarnai oleh fenomena penutupan gerai, setelah pada tahun lalu fenomena yang sama terjadi. Pada tahun lalu, sejumlah gerai  Debenhams  dan department store Lotus yang dimiliki PT Mitra Adi Perkasa Tbk ditutup, dan juga manajemen brand sepatu asal Inggris Clarks memutuskan hengkang dari negeri ini.

Sementara itu, pada pembukaan tahun ini, industri ritel diwarnai kabar penutupan 26 gerai  milik PT Hero Supermarket Tbk. Selain itu, penutupan gerai juga dilakukan oleh PT Central Retail Indonesia untuk gerainya di Neo Soho, PT Tozy Sentosa untuk gerai Centro di Plaza Semanggi Jakarta, serta Metro Department Store untuk gerainya di Manado.

Pelly Sianova, Advertising & Promotion Senior Manager PT Tozy Sentosa, grup ritel yang menaungi brand Parkson dan Centro menyatakan, pihaknya menutup gerai Centro di Plaza Semanggi sejak 31 Desember 2018 setelah melakukan kajian mendalam terhadap kinerja gerai pertamanya yang berdiri sejak 2003 tersebut.

“Apa yang berjaya pada 15 tahun lalu bisa jadi sekarang sudah tidak sama lagi. Buka-tutup gerai itu hal yang biasa, selalu ada eksplorasi dan ekspansi ketika merasa keadaan store sudah tidak lagi memberikan keuntungan, malah rugi,” ujarnya kepada Bisnis.

Dia menambahkan, keputusan menutup gerai tersebut karena melihat prospek pertumbuhan penjualan beberapa tahun ke depan. Kondisi pusat belanja Plaza Semanggi yang tidak seramai dulu, dan juga komitmen pengelola mall yang tidak ditepati juga menjadi salah satu alasan.

Meski demikian, dia menegaskan tidak melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terhadap para karyawannya. Menurutnya, karyawan yang bekerja di gerai Plaza Semanggi akan dialihkan ke gerai-gerai lain yang dikelola perseroan.

“Kita alihkan ke gerai baru kita di Depok . Tahun lalu kita punya dua toko baru, satu di Karawang bulan Oktober, lalu Desember lalu kita buka juga di Depok,” ujarnya.

Sejauh ini, perseroan memiliki 15 gerai, terdiri dari tiga gerai brand Parkson dan 12 gerai Centro.Gerai tersebut tersebar di kota-kota besar seperti Depok, Bekasi, Tangerang, Jogja, Manado, dan Karawang.

Lebih lanjut, pihaknya mengaku belum berencana menerapkan strategi omnichannel seperti peritel lainnya pada tahun ini. Dia juga belum bisa membeberkan target pertumbuhan maupun rencana pembukaan gerai baru pada tahun ini.

Meski demikian, Pelly juga mengaku masih optimistis perusahaannya dapat tumbuh pada tahun ini. Menurutnya, masih banyak peluang dan potensi pasar yang bisa digarap oleh peritel modern.

“Kita masih cukup percaya diri dengan behaviour belanja langsung, apalagi dengan 1,2 juta member di seluruh store kita. Tapi kami tidak tutup mata terhadap perubahan. Kami masih menunggu arahan dari headquarter,” ujarnya.

Menanggapi hal tersebut, Direktur Bina Usaha dan Pelaku Distribusi Kementerian Perdagangan I Gusti Ketut Astawa menilai penutupan gerai merupakan hal yang biasa terjadi dalam bisnis, dan harus dilihat berdasarkan kasusnya. Menurutnya, fenomena penutupan gerai ini tidak bisa langsung disimpulkan sebagai penurunan kinerja industri ritel ataupun daya beli masyarakat yang melemah.

“Kalau dibilang industri ritel lesu, saya tidak sepakat. Dinamika orang berusaha kalau di tempat lain berkembang, tapi di sini berkurang itu wajar,” ujarnya.

Menurutnya, persaingan di industri ritel memang semakin ketat, seiring dengan pesatnya pembangunan pusat perbelanjaan. Selain itu, kompetisi juga hadir dengan adanya marketplace yang menawarkan kemudahan dan kecepatan, meskipun sebagian peritel modern saat ini juga turut berjualan di marketplace.

Dia menambahkan, untuk bertahan di tengah ketatnya persaingan, para peritel modern harus memiliki kajian yang matang mengenai kelayakan usaha, sebelum membuka gerai di tempat baru. Selain itu, para peritel juga harus responsif terhadap perkembangan zaman dengan menawarkan strategi pemasaranomnichannel.  

“Jangan stagnan. Strategi berjualan kan sekarang ada yang online dan offline. Gunakanlah omnichannel tadi sehingga inovasi jangan hanya berhenti  di satu titik,” ujarnya.

Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Tutum Rahanta sebelumnya menyatakan, APrindo memproyeksikan Penjualan ritel modern ditaksir menembus Rp256 triliun pada 2019, atau tumbuh sekitar 10% dari realisasi tahun lalu.

Proyeksi tersebut terbilang moderat tetapi masih lebih baik jika dibandingkan dengan capaian pertumbuhan bisnis ritel modern pada 2017 yang hanya 3,7%.

“Bagaimanapun, kami tetap optimistis dan akan melanjutkan pertumbuhan 10% tahun ini, tetapi kami akan tetap hati-hati. Jadi, pertumbuhan 10% kali ini lebih konservatif,” katanya kepada Bisnis, belum lama ini.

Berdasarkan data Aprindo, nilai penjualan ritel modern pada 2016, 2017, dan 2018 berturut-turut mencapai Rp205 triliun, Rp 212 triliun, dan Rp233 triliun.

Menurutnya, kinerja industri ritel modern pada 2019 akan dipengaruhi oleh tren belanja konsumen yang cenderung wait and see seiring dengan berjalannya tahun politik. Selain itu, para peritel masih menghadapi tekanan akibat persaingan dengan pelaku perdagangan elektronik.

Lebih lanjut, dia menilai penutupan sejumlah ritel merupakan upaya efisiensi pelaku usaha agar bisa berekspansi dengan cara lain seperti memanfaatkan platform online, atau membuka gerai di lokasi lain yang lebih prospektif.

Di faktor eksternal, pelambatan ekonomi dunia juga turut menekan daya beli masyarakat. Untuk itu, dia berharap pemerintah dapat membantu meningkatkan daya beli masyarakat untuk membeli barang konsumsi, dengan menyediakan lapangan pekerjaan sebanyak-banyaknya. 

Selain itu, dia juga mendesak untuk segera diterbitkannya Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) dagang-el guna menyediakan level berusaha yang sama antara peritel offline dan online.

Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Hariyadi Sukamdani menuturkan persaingan usaha sektor ritel sangat ketat dan pola perilaku belanja masyarakat yang berubah menjadi penyebab tutupnya usaha ritel. 

"Itu kembali lagi ya, persaingan di ritel sangat ketat. Di samping itu perilaku pembeli sudah berubah, memang tidak bisa dipungkiri bahwa belanja e-commerce ada pengaruhnya. Semakin lama trennya semakin banyak," ujarnya,

Selain itu, dia juga menilai penutupan toko ritel terjadi karena perubahan pola bisnis dan efisiensi melalui pengalihan toko fisik ke daring.Daya beli masyarakat yang rendah pun menjadi penyebab tutupnya banyak toko ritel di Tanah Air.

SEGMEN MENENGAH

Bagaimanapun, angin segar justru berembus untuk peritel segmen menengah ke bawah pada tahun ini.

Perubahan besar dalam lanskap ritel dengan hadirnya industri dagang-el dinilai tak berpengaruh pada peritel dengan pangsa pasar menengah ke bawah, seperti toserba (department store) Ramayana dan Matahari.

Analis Mirae Asset Sekuritas Indonesia Christine Natasya menyebutkan, masifnya pergerakan industri dagang-el tidak terlalu menerpa bisnis PT Ramayana Lestari Sentosa Tbk. (RALS), PT Matahari Department Store Tbk. (LPPF) dan PT Mitra Adiperkasa Tbk. (MAPI).

“Kami memperkirakan dampak [persaingan dengan dagang-el] kecil untuk RALS, karena target pasarnya secara umum adalah pelanggan yang tidak menggunakan kartu kredit maupun menggunakan akun bank,” tulis Christine dalam risetnya belum lama ini.

Mirae Asset pun menunjuk RALS sebagai top picks karena anggaran pemerintah yang bakal lebih banyak dialirkan ke masyarakat berpendapatan rendah dapat menggairahkan bisnis perseroan.

Dalam riset yang dirilis Ciptadana Sekuritas Asia, pada Januari—November 2018, RALS telah membukukan penjualan kotor senilai Rp7,6 triliun, atau naik 4,6% secara tahunan dan memperlihatkan pencapaian 89% dari perkiraan penjualan kotor untuk tahun lalu.

Sementar itu, same store sales growth (SSSG) pada November tercatat naik 7,3% dibandingkan dengan penurunan 1,1% pada bulan sebelumnya.

Mengacu kepada pencapaian penjualan kotor pada periode Januari—November 2018 tersebut, Analis Ciptadana Sekuritas Asia Robert Sebastian juga memiliki pandangan optimistis terhadap kinerja ritel modern yang berpangsa pasar menengah ke bawah.

“Kami yakin konsumsi akan membaik pada 2019, khususnya untuk masyarakat berpendapatan rendah, [karena faktor] Pemilu Presiden dan besarnya anggaran pemerintah untuk PKH [Program Keluarga Harapan] dapat menopang kinerja RALS,” tulisnya.

Sebelumnya, Sekretaris Perusahaan Ramayana Lestari Sentosa Setyadi Surya sempat menyatakan, pada tahun lalu perseroan telah menutup beberapa gerai yang tidak menguntungkan sebagai strategi perseroan.

Bisnis mencatat, walaupun RALS menutup tiga gerai, perseroan juga tetap berekspansi dengan membuka tiga gerai baru di Bekasi Trade Center, Cibubur, dan Cakung. Dengan begitu, total gerai yang dimililki perusahaan per Oktober 2018 mencapai 117 gerai.

Lebih lanjut, dia menjelaskan, selain ancaman yang datang dari industri dagang-el, peritel besar bakal menghadapi ancaman dari munculnya perusahaan lokal berukuran kecil yang turut menargetkan segmentasi pasar kelas menengah.

Tak bisa dipungkiri, awal tahun ini telah menjadi penanda akan tantangan perubahan zaman yang lebih berat bagi industri ritel modern tahun ini. Pertanyaannya, seberapa adaptifkah peritel modern dalam merespons tantangan tersebut?

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper