Bisnis.com, JAKARTA — Badan Ekonomi Kreatif memproyeksikan kontribusi ekonomi kreatif terhadap Penerimaan Domestik Bruto (PDB) dapat tumbuh 8% pada tahun ini, atau menyentuh Rp1.193,4 triliun dari perolehan tahun lalu yang diperkirakan menembus Rp1.105 triliun.
Kepala Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) Triawan Munaf menyatakan, pertumbuhan ekraf dari tahun ke tahun selalu menggembirakan. Hal tersebut ditopang oleh kinerja industri ekonomi kreatif yang kondusif, serta diikuti oleh gairah berwirausaha generasi muda.
“Saya harapkan ada pertumbuhan 8% tahun ini. Kalau bisa 10% lebih bagus, karena ada biasanya ada kegairahan baru setelah pilpres,” ujarnya di sela-sela program Secangkir Semangat Kapal Api, Selasa (15/1//2019).
Dari 16 subsektor ekonomi kreatif, Triawan menyebut sektor fashion, kuliner dan kriya masih akan menjadi tiga menjadi sektor unggulan yang menyumbang lebih 70% dari total kontribusi ekonomi kreatif secara nasional pada tahun ini. Sementara, pertumbuhan kinerja subsektor lain seperti film, aplikasi, permainan dan musik juga akan tumbuh meskipun tidak sebesar tiga sektor utama.
“Film pertumbuhannya luar biasa. Tahun 2018 sudah tembus 50 juta penonton film nasional dari 2015 hanya 16 juta. Saya harapkan tahun bisa tembus 60 juta penonton,” ujarnya.
Data Bekraf mencatatkan rata-rata pertumbuhan ekonomi kreatif sebesar 7% setiap tahunnya. Pada 2015, ekonomi kreatif menyumbang Rp852 triliun terhadap PDB. Jumlah tersebut meningkat menjadi Rp894,6 triliun pada 2016, dan menyentuh angka psikologis Rp1.000 triliun pada 2017.
Sejalan dengan hal itu, nilai ekspor ekonomi kreatif juga terus meningkat setiap tahunnya, dari Rp19,4 miliar pada 2015, menjadi Rp19,9 miliar pada 2016 dan Rp22,1 miliar pada 2017. Sementara pada tahun lalu, nilai ekspor ekonomi kreatif diyakini mencapai Rp23,7 miliar dan diprediksi terus meningkat hingga Rp25,1 miliar pada tahun ini.
Data Bekraf pada 2017 menunjukkan, Amerika Serikat masih menjadi pasar utama untuk ekspor ekonomi kreatif, dengan persentase mencapai 31,72%. Selanjutnya diikuti oleh Jepang 6,72%, Taiwan 4,99%, Swis 4,96%, Jerman 4,56%. Sementara negara seperti Singapura, Tiongkok, Hong Kong, Belgia dan Inggris masih di bawah 3%.
Data Bekraf yang dihimpun bersama BPS mencatat, subsektor kuliner menyumbang hingga 41,69%, fashion 18,15%, dan kriya 15,7%. Diikuti dengan sektor lainnya televisi dan radio sebesar 7,78%, penerbitan 6,29%, arsitektur 2,3%, aplikasi dan permainan 1,77%.
Sementara itu, terdapat sembilan sektor yang tingkat kontribusinya masih di bawah 1%. Sebut saja periklanan 0,8%, musik 0,47%, fotografi 0,45%, seni pertunjukan 0,26%, desain produk 0,24%, seni rupa 0,22%, desain interior dan film masing-masing 0,16%, serta 0,06%.
Pertumbuhan kontribusi sektor ekonomi kreatif terhadap PDB salah satunya disumbang oleh menjamurnya wirausaha khususnya wirausaha sosial di kalangan generasi muda.
Founder Yayasan Cinta Anak Bangsa Veronica Colondam mengestimasikan, saat ini terdapat lebih dari 300.000 wirausaha sosial yang ada di seluruh Indonesia. Demografi para pelaku wirausaha sosial tersebut mayoritas merupakan generasi millennial yang berusia di bawah 35 tahun.
“Generasi sekarang kalau berbisnis tidak punya dampak maka sudah tidak keinian lagi. Dengan menjadi wirsos [wirausaha sosial], kita menjalankan pemberdayaan sosial sambil berdagang,” ujarnya.
Dia menambahkan, selain membuka lapangan pekerjaan, wirausaha sosial juga menerapkan prinsip pemberdayaan masyarakat. Selain itu, cara para pelaku usaha memperlakukan keuntungan, dan juga dampak lingkungan dan osial yang timbul dari usahanya juga menjadi salah satu yang membedakan wirusaha sosial dengan wirausaha lainnya.
Menurutnya, saat ini yang paling dibutuhkan oleh para pelaku wirausaha sosial untuk mengembangkan usahanya adalah pendampingan. Selain itu, juga wadah pendanaan yang mempertemukan para investor kepada para pelaku wirausaha sosial.
“Kita juga mendorong disahkannya RUU Kewirausahaan Nasional untuk membuat iklim wirausaha sosial di Indonesia semakin berkembang,” ujarnya.