Bisnis.com, JAKARTA - Pelaku usaha kayu olahan menilai pada 2019 volume produksi kayu olahan akan naik 10% dari total capaian sepanjang 2018 namun kinerja ekspor dinilai akan tetap stagnan.
Ketua Asosiasi Industri Kayu Gergajian dan Kayu Pertukangan Indonesia atau Indonesian Sawmill and Wood Working Association (ISWA) Soewarni mengatakan bahwa volume kayu olahan akan naik sebesar 10%.
Dia menjelaskan per September 2018 ISWA mencatat bahwa total volume bahan baku kayu olahan adalah sebesar 3,47 juta m3. "Jadi, secara proporsional nilai volumenya [akan] naik [pada 2019] tetapi nilai devisanya yang sama," ujarnya saat dihubungi Bisnis, Kamis (3/1/2018).
Soewarni menyampaikan stagnannya nilai devisa dipengaruhi oleh kendala harga ekspor yang rendah. Dia menilai total ekspor yang dihasilkan dari sektor kayu olahan pada 2019 akan tetap sama di angka US$2,1 miliar seperti capaian ekspor pada 2017 dan pada 2018.
"Jadi, sebetulnya stagnan terhadap devisa, tapi kalau volume itu naik karena harga [bahan baku] turun."
Soewarni menjelaskan turunnya harga kayu olahan terjadi pada volume kayu Hutan Tanaman Industri (man-made forest) atau kayu yang berasal dari hutan rakyat.
"Contoh kayu sengon, saat Program Sengonisasi kan banyak rakyat yang menanam [kayu] sengon, sekarang [produk kayu sengon] sudah diproses menjadi [produk kayu] barecore, harga [produk] barecore ini jatuh, itu masalahnya,"
Menurutnya, sampai pada Desember 2018 harga jual produk kayu olahan dari kayu tanaman adalah sebesar US$210 per m3.
"Padahal beberapa tahun yang lalu [harga jualnya] US$300 per m3. Tapi tadi pada 2019, saya mendengar kabar bahwa ada yang menjual seharga US$190 per m3."
Soewarni memaparkan saat ini pembeli produk barecore Indonesia didominasi oleh China dan Taiwan.
Akan tetapi, Soewarni juga mengatakan bahwa produk kayu olahan yang dihasilkan dari kayu alam harganya masih bagus di pasaran.
Produk kayu olahan dari kayu alam yang banyak dicari konsumen adalah produk kayu yang terbuat dari jenis kayu meranti baik jenis kayu meranti putih maupun meranti merah.
Kemudian, kayu merbau dari Papua, dan kayu keruing. Jenis kayu keruing yang banyak diminati adalah kayu keruing yang berdaun lebar maupun berdaun kecil atau kayu keruing yang bergetah maupun yang tidak ada getahnya.
"Sekarang harganya tinggi, kalau [jenis kayu log] Meranti itu harganya sudah di atas Rp4 juta sampai Rp5 juta, dulu kan cuma Rp2 juta atau Rp2,5 juta sekarang sudah harga [pasarannya] sudah dua kali lipat,"
Akan tetapi, Soewarni menjelaskan bahan baku kayu yang dihasilkan dari hutan alam sangatlah terbatas dan mahal. Selain itu, para pemegang hak pengusahaan hutan (HPH) biasa menggunakan kayu alam yang didapatkan untuk industrinya sendiri.
"Anggota saya kalau harus beli [bahan baku kayu alam] dari [pemegang] HPH kan harus satu kapal. Anggota kami itu kan pelaku industri menengah ke bawah, jadi kalau disuruh misalnya beli kayu [bahan baku] dari Papua harus satu kapal, kan tidak mungkin, tidak ada dananya,"
Soewarni juga menuturkan bahwa saat ini dirinya sedang berdiskusi dengan Kementerian Perindustrian tentang strategi yang akan dilakukan agar harga kayu olahan dari kayu tanaman tidak terus-menerus turun. "Saya sedang memperjuangkan bagaimana [caranya] agar harga ini bisa dikendalikan,"
Adapun, Soewarni menyampaikan catatan lain yang memengaruhi harga jual kayu olahan adalah perang dagang antara Amerika Serikat dan China.
"Sangat berpengaruh, [perang dagang] tidak [hanya] berpengaruh terhadap barecore, tetapi juga berpengaruh pada produk wood working yang dulu [harga jualnya] tinggi sekarang karena pengaruh [perang dagang jadi turun harganya]," tandasnya.