Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah diminta mempercepat perjanjian bilateral dengan Amerika Serikat (AS) sehingga dapat menjaga kinerja industri kertas dan pulp.
Pengamat Industri Kertas dan Pulp Rusli Tan menuturkan, saat ini harga pulp dan kertas terus merosot. Bahkan, harga kertas dapat terjun 20% lebih rendah dibandingkan dengan kondisi saat ini.
Oleh karena itu, pemerintah harus mendahulukan untuk meningkatkan volume produksi dengan mengisi celah pasar guna mengimbangi merosotnya kinerja penjualan.
“Dibutuhkan upaya pemerintah lebih giat membuat persetujuan dagang dengan AS. Jika pemerintah memperoleh persetujuan [perjanjian bilateral] dengan AS, maka Indonesia dapat memperoleh keuntungan yang sangat banyak,” kata Rusli, Rabu (19/12).
Menurut Rusli, Indonesia dapat memulai perjanjian terbatas dengan AS, misalnya dengan melakukan barter produk. Saat ini, Indonesia merupakan pengimpor kedelai dan kapas yang sangat besar dari AS. Dengan lobi, posisi ini dapat ditukar dengan memasukkan produk kertas dan tekstil dari Indonesia.
Selain itu, industri pulp Indonesia dapat mengisi ruang yang ditinggalkan China di pasar AS. Selama ini, China merupakan pembeli terbesar kertas bekas asal AS. Produk ini kemudian diolah menjadi kardus kemasan yang kembali di ekspor ke AS.
“Saat yang sama, kita tinggal melobi industri karton dan kardus yang besar di China. Mereka yang awalnya hendak ekspansi dan sudah terlanjur beli mesin. Mereka tinggal bawa dan pasang mesinnya di Indonesia. Dengan demikian produksi kertas mereka tetap bisa di ekspor ke AS. Ini bisa cepat karena di Indonesia banyak bangunan pabrik yang siap pakai,” katanya.
Kehadiran perjanjian dagang dengan AS, lanjutnya, akan membangkitkan industri padat modal di Indonesia. Pabrik alas kaki, garmen, dan boneka akan mendapatkan keuntungan. Industri-industri ini, selain menyerap banyak produk kertas untuk kemasan, juga akan menyerap banyak tenaga kerja.
“Industri ini juga hanya membutuhkan mesin sederhana. Yang banyak justru tenaga kerjanya. Mesin-mesin di China yang menganggur [akibat perang dagang] bisa dibawa ke sini. Ditambah dengan insentif fiskal berupa pembebasan pajak, maka ini akan sangat meningkatkan kinerja ekspor Indonesia,” katanya.
Rusli memperkirakan, dengan upaya ini, jatuhnya harga jual produk pulp Indonesia dapat teratasi. Pada saat yang sama, volume produksi dapat meningkat dua hingga tiga kali lipat dalam waktu singkat.
Sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat ekspor pulp Indonesia kembai menurun. Kinerja ekspor bubur kertas pada November 2018 turun US$71,6 juta dibandingkan dengan bulan sebelumnya.
Kepala BPS Suhariyanto mengharapkan pemerintah membuka pasar-pasar baru agar ekpor utama dari Indonesia dapat kembali diperkuat. “Tentu tidak mudah dan perlu waktu,” katanya. (Anggara Pernando)