Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rapor Merah Impor Pangan 2018

Persoalan data produksi dan kebutuhan domestik yang tidak akurat serta manajemen pengelolaan impor yang buruk, membuat kebijakan impor pangan tahun ini mendapatkan catatan buruk.

Bisnis.com, JAKARTA — Persoalan data produksi dan kebutuhan domestik yang tidak akurat serta manajemen pengelolaan impor yang buruk, membuat kebijakan impor pangan tahun ini mendapatkan catatan buruk.

Pengamat pertanian dan pangan dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia Khudori mengatakan, kebijakan impor pangan hampir selalu menjadi polemik setiap tahun. Pada tahun ini, lanjutnya, persoalan yang lebih banyak muncul ke permukaan adalah kuota impor beberapa komoditas yang melebih kebutuhan dan pemilihan waktu impor yang tidak tepat.

“Semua persoalan yang menghinggapi impor pangan tahun ini ujung pangkalnya ada di data produksi, stok, dan konsumsi. Namun, yang sudah menjadi perhatian pemerintah baru beras saja. Sisanya masih mengambang begitu saja,” katanya kepada Bisnis.com, Minggu (16/12/2018).

Data yang tidak akurat dan pemilihan waktu impor yang tidak tepat, menurutnya, disebabkan oleh perbedaan data yang dimiliki oleh Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, Kementerian Pertanian, serta Kementerian Kelautan dan Perikanan.

Hal itu membuat alokasi impor yang diberikan pemerintah berada di atas kebutuhan dalam negeri, terutama untuk komoditas gula mentah (GM) untuk gula kristal rafinasi (GKR) dan garam. Sementara itu, perbedaan data antarkementerian yang membuat waktu (timing) pengadaan luar negeri tidak tepat terjadi pada komoditas beras dan jagung.

Untuk itu, dia meminta agar data pangan yang dimiliki masing kementerian dipusatkan di Badan Pusat Statistik (BPS). Setelah itu, BPS akan memvalidasinya sehingga muncul data tunggal. Data dari BPS inilah yang diharapkannya menjadi acuan pemerintah ketikan mengeksekusi kebijakan impor.

“Jadi tidak perdebatan antarkementerian terkait dengan datanya masing-masing, sehingga persoalan keterlambatan pengadaaan luar negeri untuk beras dan jagung tahun ini tidak terjadi lagi. Begitu pula bagi gula mentah untuk rafinasi dan garam, supaya kuota yang diberikan tidak luber-luber,” jelasnya.

Dia menyebutkan, impor GM untuk GKR menjadi salah satu contoh kasus alokasi izin impor yang melebihi kebutuhan. Pasalnya, berdasarkan data Kementerian Perdagangan, izin impor yang telah diterbitkan baru mencapai 3,15 juta ton dari alokasi pada awal tahun yang mencapai 3,6 juta ton. Sementara itu, per 30 November lalu realisasi serapan industri baru mencapai 2,9 juta ton.

Hal serupa terjadi pada komoditas garam. Pemerintah menetapkan kuota impor garam pada 2018 sebesar 3,7 juta ton. Kuota itu diberikan pemerintah berdasarkan rekomendasi Kementerian Perindustrian, guna mengamankan kebutuhan untuk sektor industri. Namun, dari kuota impor yang tersedia tersebut, Kementerian Koordinator Perekonomian memroyeksikan, serapannya hanya akan berkisar pada level 3,2 juta ton.

Asisten Deputi Bidang Peternakan dan Perikanan Kemenko Perekonomian Jafi Alzaglafi mengatakan, hal itu disebabkan oleh produksi garam rakyat yang meningkat seiring panjangnya musim kemarau tahun ini. “Tahun ini perkiraan produksi garam rakyat bisa tembus 2 juta ton.”

Adapun,  berdasarkan data Asosiasi Petani Garam Rakyat Indonesia (APGRI) produksi garam nasional mencapai 2,4 juta ton. Ketua APGRI Jakfar Sodikin mengatakan, berkaca pada produksi alokasi impor garam pada tahun ini sangat berlebihan, mengingat konsumsi garam nasional berkisar pada 4,2 juta ton/tahun. Dari konsumsi garam nasional tersebut, kebutuhan untuk industri sebesar 700.000 ton.

“Tahun lalu memang ada gangguan panen sehingga produksinya kami 1,3 juta ton. Namun, tahun ini kan pemerintah seharusnya sudah ada gambaran terkait kondisi cuaca. Ketika cuaca normal saja kami bisa produksi 1,8 juta ton/tahun. Masa alokasi impornya 3,7 juta ton dengan kebutuhan domestik 4,2 juta ton,” jelasnya.

Untuk itu, dia meminta adanya evaluasi besar-besaran terhadap penentuan kuota impor garam. Dia mengatakan, tahun depan terdapat potensi produksi garam bisa mencapai 2,5 juta ton lantaran adanya fenomena El Nino.

LEBIH PELIK

Sementara itu, terkait dengan beras, pengamat pertanian dari Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (Perhepi) Husein Sawit mengatakan, persoalan yang terjadi pada tahun ini cenderung lebih pelik dari tahun-tahun sebelumnya. Pemerintah dinilainya gagal memberikan dampak positif terhadap perberasan nasional melalui kebijakan impor.

“Pemerintah telah mengeksekusi impor beras, terutama di awal tahun sehingga kondisi perberasan kita kacau. Di sisi lain, kebijakan impor ini dibarengi oleh manajemen tata niaga beras nasional,” katanya.

Maka dari itu, lanjutnya, tidak mengherankan jika pemerintah hampir sepanjang tahun harus membuat operasi pasar dan kerepotan dalam melakukan penyerapan. Kebijakan penyerapan dan operasi pasar yang terjadi sepanjang tahun ini, menurutnya, sangat jarang terjadi pada tahun-tahun sebelumnya.

“Di sisi lain, perhitungan pemerintah juga patut dipertanyakan, kenapa realisasi impor oleh Bulog hanya 1,8 juta ton dari alokasi 2 juta ton. Dan mengapa ketika pemerintah sudah punya stok yang besar di Bulog, tetapi masih kesulitan dalam mengendalikan harga beras,” katanya.

Adapun, berdasarkan data Bulog, stok cadangan beras pemerintah (CBP) sebanyak 3,2 juta ton. Stok tersebut diperoleh dari impor sebesar 1,8 juta ton dan sisanya dari serapan pemerintah.

Hal berbeda terjadi pada komoditas jagung.  Sekretaris Jenderal Dewan Jagung Nasional Maxdeyul Sola mengatakan, polemik di sektor jagung tahun ini disebabkan oleh data produksi yang tidak akurat. Di sisi lain, pemerintah tetap bersikukuh menahan-nahan impor, kendati desakan dari publik, terutama peternak terus meningkat.

Akibatnya, menurutnya kebijakan pemerintah untuk membuka keran impor sebesar 100.000 ton pada November lalu, terbilang terlambat. Pasalnya, para peternak akhirnya harus melakukan afkir dini di tengah langkanya jagung di pasar dan  harga hasil ternak seperti daging ayam dan telur terlanjur jatuh di tingkat konsumen.

“Sekarang impor 100.000 ton ini sebenarnya terlambat. Karena barang impor tersebut masuknya butuh waktu, akhirnya kebijakan yang diambil serba terburu-buru termasuk harus meminjam jagung ke feedmill terlebih dulu,” jelasnya.

Menanggapi fenomena yang terjadi pada tahun ini, Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kemendag Oke Nurwan mengatakan, evaluasi mendalam terkait dengan impor pangan akan dilakukan oleh pemerintah.

Dia mengatakan, berdasarkan data yang dimilikinya, untuk beberapa komoditas seperti garam, jagung dan GM untuk GKR akan diturunkan kuota impornya pada tahun depan dari yang diberikan pada tahun ini.

“Tahun ini memang ada beberapa catatan besar. Kami sedang merumuskan metode impor yang tepat, di mana di dalamnya terkait dengan proyeksi produksi dan kebutuhan. Sejauh ini kami sudah punya timeline dan alokasi awal untuk impor pangan pada tahun depan, yang kami rasa lebih akurat dan tepat,” katanya.

Hanya saja, dia mengatakan belum dapat memaparkan jumlah alokasi dan waktu importasi tersebut. Pasalnya, kebijakan itu akan dibahas terlebih dahulu melalui rapat koordinasi terbatas di tingkat Kementerian Koordinator Perekonomian.

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper