Bisnis.com, JAKARTA — Komposisi ekspor Indonesia yang didominasi oleh barang mentah dan sensitif bagi negara lain disinyalir menjadi salah satu batu ganjalan dalam proses perundingan Regional Comprehensive Economic Patnership (RCEP).
Direktur Perundingan Asean Kementerian Perdagangan Donna Gultom mengatakan, dalam perundingan RCEP, Indonesia meminta pembebasan bea masuk untuk sejumlah komoditas barang mentah seperti minyak kelapa sawit (crude palm oil/CPO), karet dan produk karet, serta kayu.
Namun, permintaan Indonesia tersebut justru mendapatkan penolakan dari sejumlah negara seperti China dan India. Adapun, RCEP diikuti oleh para anggota Asean, ditambah Australia, India, Jepang, Korea Selatan, China, dan Selandia Baru.
“Produk CPO, kayu, dan karet ini sangat sensitif rupanya bagi beberapa negara anggota RCEP, seperti China dan India. Mereka setengah mati menolak pembebasan atau penurunan bea masuk produk-produk itu dengan berbagai alasan,” katanya kepada Bisnis.com, Rabu (12/12/2018).
Dia melanjutkan, dalam beberapa periode perundingan, China menyatakan bahwa pembebasan bea masuk impor CPO akan menganggu produksi petani jagung di Negeri Panda. Hal yang sama berlaku untuk karet dan kayu, di mana Beijing masih berusaha melindungi petani di dalam negerinya.
Penolakan serupa juga dilakukan oleh India. Menurut Donna, Negeri Bollywood tetap bersikukuh menetapkan bea masuk CPO sebesar 44% dan produk turunannya sebesar 54% yang berlaku secara global, termasuk di RCEP. Pasalnya, India tidak ingin RCEP membuat petani biji bunga mataharinya tersaingi oleh produk CPO.
Namun demikian, dia mengaku Indonesia masih akan berusaha meminta pembebasan tarif untuk komoditas barang mentah tersebut. Pasalnya, struktur ekspor Indonesia saat ini masih didominasi oleh barang mentah, yang mencapai 60%.
“CPO, karet, dan kayu ini produk unggulan ekspor kita. Kalau di RCEP kami tidak mendapatkan fasilitas pembebasan tarif pada produk-produk tersebut, maka kita tidak akan mendapatkan manfaat yang signifikan dari perjanjian itu,” lanjutnya.
KONKLUSI TERTUNDA
Keinginan Indonesia tersebut, menurut Donna, membuat proses perundingan RCEP menjadi semakin alot. Bahkan, terdapat potensi konklusi RCEP mundur lagi dari target awal yang ditetapkan pada semester I/2019.
Sebelumnya, Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita mengatakan, negosiasi RCEP yang pada awalnya ditargetkan selesai November 2018, terpaksa harus mundur menjadi paruh pertama tahun depan.
Menurutnya, mundurnya proses konklusi negosiasi pakta kerjasama ekonomi komprehensif tersebut disebabkan oleh beberapa negara yang masih bersikeras mempertahankan kepentingan masing-masing.
Saat dihubungi terpisah, Ketua Komite Tetap Ekspor Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Handito Joewono meminta pemerintah untuk terus berusaha mendapatkan akses terhadap produk ekspor unggulan Indonesia di RCEP. Pasalnya, tanpa adanya fasilitas khusus untuk akses CPO, karet, dan kayu, Indonesia justru akan mendapat kerugian karena terpaksa harus membuka keran impor produk-produk negara lain.
“Kami akui, struktur ekspor kita yang masih didominasi barang mentah dan produk alam menjadi kelemahan kita, karena negara lain sudah beranjak ke produk bernilai tambah atau [produk] jadi. Namun, untuk saat ini, kami masih perlu mengamankan akses untuk produk-produk mentah ini sembari mengembangkan industri pengolahan di dalam negeri,” katanya.
Menurut Handito, Indonesia sebenarnya memiliki posisi tawar yang tinggi di RCEP. Terlebih, RI merupakan inisiator dan pemimpin pakta kerja sama ekonomi komprehensif tersebut dan menjadi salah satu negara dengan pasar terbesar di Asean. Untuk itu, dia meminta pemerintah dan juru runding RCEP memanfaatkan daya tawar Indonesia tersebut.
Sementara itu, ekonom Universitas Indonesia (UI) Fithra Faisal mengatakan, RCEP saat ini menjadi fokus bagi sejumlah negara seperti China, India, Jepang, dan Australia untuk menggenjot kinerja dagangnya. Pasalnya, pakta perdagangan bebas regional lain—yakni Trans-Pacific Patnership (TPP)—telah kehilangan pamor dan potensinya karena ditinggalkan oleh Amerika Serikat.
“RCEP ini menjadi pertaruhan bagi China, Jepang, dan Australia dalam politik perdagangan internasionalnya. Maka dari itu, negara-negara itu akan mati-matian memperjuangkan kepentingan nasionalnya di pakta dagang ini,” katanya.
Bagaimanapun, dia menyebutkan, Indonesia sebenarnya memiliki peluang untuk memanfaatkan situasi tersebut. Posisi Tanah Air yang menjadi negara dengan perekonomian dan pangsa pasar terbesar di Asean seharusnya menjadi daya tawar yang tinggi bagi negara lain.
“Pangsa pasar kita ini besar dan potensial. Maka, sebenarnya kita bisa saja menempatkan posisi kita ini untuk meminta lebih banyak di RCEP kepada negara-negara lain, termasuk akses untuk produk pertanian dan perkebunan kita,” tegasnya.
Sementara itu, Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta W. Kamdani mengatakan, rendahnya porsi ekspor produk bernilai tambah memang menjadi persoalan yang krusial.
Terlebih, sebutnya, produk-produk unggulan ekspor Indonesia mendapatkan restriksi di beberapa negara. Untuk itu, dia mendesak pemerintah ikut turun tangan untuk menambah insentif bagi pertumbuhan industri pengolahan.
“Struktur ekspor kita ini memang tidak sehat bagi ekonomi kita. Produk primer sangat rawan mendapatkan pembatasan atau serangan di pasar global. Maka dari itu, pekerjaan rumah kita saat ini adalah memacu pertumbuhan industri dalam negeri untuk meningkatkan produksi barang jadi,” katanya.
Nilai Perdagangan Indonesia dengan Mitra RCEP di Asean Periode Januari—September 2018 (miliar US$)
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Brunei Kamboja Laos Malaysia Myanmar Filipina Singapura Thailand Vietnam
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Total nilai perdagangan 0,05 0,40 0,02 13,39 0,80 5,87 25,41 13,50 6,07
Ekspor 0,04 0,38 0,01 6,97 0,68 5,18 9,40 5,21 3,19
Impor 0,01 0,02 0,02 6,41 0,12 0,69 16,01 8,29 2,87
Neraca perdagangan 0,02 0,35 -0,01 0,56 0,55 4,48 -6,61 -3,07 0,31
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Nilai Perdagangan Indonesia dengan Mitra RCEP Non-Asean Periode Januari—September 2018 (miliar US$)
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Australia China India Jepang Korea Selatan Selandia Baru
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Nilai perdagangan 6,37 52,76 13,85 28,22 13,96 0,95
Ekspor 2,17 20,11 10,13 14,89 7,27 0,34
Impor 4,20 32,65 3,72 13,33 6,69 0,60
Neraca dagang -2,02 -12,53 6,41 1,55 0,57 -0,26
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Sumber: Kementerian Perdagangan, 2018