Bisnis.com, JAKARTA — Keputusan Bank Indonesia mempertahankan kebijakan preemptive dan ahead the curve guna menjaga stabilitas ekonomi pada 2019, berpotensi membuat suku bunga semakin meningkat.
Kebijakan pengetatan moneter Bank Indonesia menjadi topik headline koran cetak Bisnis Indonesia edisi Rabu (28/11/2018). Berikut laporannya.
Respons preemptive dan ahead the curve merupakan langkah BI yang dilakukan mendahului kebijakan moneter negara lain dengan secara agresif menaikkan suku bunga lebih awal.
Selama beberapa bulan terakhir, bank sentral tercatat telah enam kali menaikkan suku bunga acuan BI-7 Day (Reverse) Repo Rate sebesar 175 basis poin, dari 4,25% menjadi 6%.
Namun demikian, arah langkah bank sentral yang cenderung hawkish (istilah yang mengacu pada kebijakan suku bunga tinggi) tersebut dinilai tidak akan menghambat momentum pertumbuhan ekonomi tahun depan.
Bank Indonesia (BI) memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2019 tetap meningkat dengan kisaran 5,0%—5,4% ditopang oleh kuatnya permintaan domestik, baik konsumsi maupun investasi.
Adapun dalam RAPBN 2019, pemerintah mematok target pertumbuhan ekonomi sebesar 5,3% atau dalam kisaran tengah proyeksi BI.
Pada 2019, BI memastikan bauran kebijakan yang telah ditempuh pada 2018 akan semakin diperkuat. Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan stance kebijakan moneter yang preemptive dan ahead the curve akan dipertahankan pada 2019.
“Kebijakan suku bunga akan terus dikalibrasi sesuai perkembangan ekonomi domestik dan global untuk memastikan inflasi terkendali sesuai sasaran dan nilai tukar rupiah stabil sesuai fundamentalnya,” kata Perry di Pertemuan Tahunan Bank Indonesia (PTBI), Selasa (27/11/2018).
Terkait dengan stabilisasi nilai tukar rupiah, BI akan terus mendorong mekanisme pasar semakin efisien. Selain itu, ketahanan ekonomi nasional perlu terus diperkuat dalam menghadapi risiko dampak rambatan ekonomi global.
“Karenanya, kebijakan moneter akan tetap difokuskan pada stabilitas, khususnya pengendalian inflasi sesuai sasaran 3,5%+1% dan stabilitas nilai tukar rupiah sesuai fundamentalnya,” papar Perry.
Lebih lanjut, Perry menjelaskan kenaikan suku bunga menjadi 6% untuk memperkuat daya tarik aset keuangan domestik. Selain itu, kenaikan suku bunga sebagai bagian dari upaya koordinatif untuk menurunkan defisit transaksi berjalan ke batas yang aman.
Sementara itu, Presiden Joko Widodo yang hadir di acara PTBI, memuji keberanian Rapat Dewan Gubernur BI yang pada 15 November mengerek bunga acuan 25 basis poin menjadi 6% untuk menjaga stabilitas ekonomi Indonesia.
“Yang saya anggap berani itu bukan besarnya kenaikan, tetapi kejutannya itu. Mengapa saya sampaikan seperti itu, karena saya membaca laporan bahwa 31 ekonom yang disurvei oleh Bloomberg, hanya 3 yang punya ekspektasi BI akan menaikkan bunga hari itu, dan saya lihat pasar benar-benar kaget oleh kenaikan bunga oleh BI, dan ini disambut sangat positif oleh pasar,” kata Presiden.
Presiden Jokowi menuturkan dalam 2—3 pekan terakhir, dampak kebijakan bank sentral terlihat dari menguatnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.
Kepala Negara berharap BI, Kementerian Keuangan, serta pelaku bisnis bahu membahu menjaga ekonomi Indonesia tetap tumbuh.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengapresiasi respons positif BI yang secara independen melakukan komunikasi kebijakannya dalam menjaga stabilisasi nilai tukar, cadangan devisa, dan inflasi.
Menurutnya, langkah yang dilakukan BI ini memengaruhi pandangan dunia internasional sehingga menjadi lebih rasional di tengah ketidakpastian global. “Semua ini, dilakukan dengan sangat baik di tengah transisi kepemimpinan Bank Indonesia dari Agus Martowardojo ke Perry Warjiyo,” kata Sri Mulyani kepada Bisnis, Senin (19/11).
STABILITAS
Sementara itu Senior VP Kepala Riset Ekonomi UOB Enrico Tanuwidjaja menilai strategi Bank Indonesia yang preemptive dan ahead the curve ini lebih ditujukan demi menjaga stabilitas ekonomi.
“Ini untuk menjaga kestabilan daripada mementingkan growth. Growth penting, tetapi ini akan datang ketika semua ini lebih stabil,” kata Enrico, Selasa (27/11).
Untuk tahun depan, Enrico menilai dampak kebijakan suku bunga BI akan diimbangi dengan adanya investasi di dalam negeri. Hal ini didorong oleh pertumbuhan di sektor komoditas sumber daya alam, salah satunya batu bara, di Tanah Air.
Menurutnya, geliat aktivitas di sektor komoditas ini kemudian memicu pertumbuhan permintaan kredit yang mencapai dua digit. Tren pertumbuhan kredit ini muncul di tengah suku bunga acuan yang diperkirakan terus naik.
Presiden Direktur PT Bank Central Asia Tbk. Jahja Setiaatmadja menilai kenaikan suku bunga tidak memengaruhi permintaan kredit yang justru tumbuh melampaui target industri perbankan.
Namun, dia berharap BI akan mempertahankan sikap hati-hati pada tahun depan dengan tidak gegabah dalam menaikkan suku bunga acuan.
“Sekarang sudah bagus, yang penting kenaikan jangan kaget, sebab saya lihat bisnis itu seperti karet, kalau kenaikannya pelan-pelan maka akan bisa menyesuaikan, kalau melonjak, bisnis tidak siap,” kata Jahja.
CEO Citi Indonesia Batara Sianturi menyampaikan dengan kebijakan preemptive dan ahead the curve Bank Indonesia telah membawa indikasi positif. Saat ini selera risiko untuk emerging market telah membaik secara bertahap, diikuti dengan penguatan nilai tukar rupiah ke level Rp14.500-an.
Adapun, Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Perdagangan Benny Soetrisno menyatakan dunia usaha berharap Bank Indonesia tidak agresif dalam menaikkan suku bunga pada tahun depan. “Suku bunga harus kompetitif,” ujarnya.