Bisnis.com, JAKARTA—Pabrikan makanan olahan dalam negeri dituntut untuk bisa bersaing dengan produk impor. Hingga Oktober 2018, impor makanan olahan masih menunjukkan peningkatan.
Badan Pusat Statistik merilis impor berbagai makanan olahan, olahan dari buah-buahan/sayuran, daging dan ikan olahan, serta olahan dari tepung masing-masing tumbuh sebesar 27,59%, 10,07%, 21,21%, dan 16,88% secara tahunan pada periode Januari—Oktober 2018.
Sementara itu, Kementerian Perdagangan mencatat impor makanan dan minuman olahan untuk rumah tangga selama Januari—September 2018 tumbuh 59,65% secara tahunan menjadi US$3,22 miliar.
Adhi S Lukman, Ketua Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (Gapmmi), mengatakan impor pangan olahan yang naik menunjukkan bahwa hal ini harus menjadi perhatian bersama, baik pengusaha maupun pemerintah.
Kendati demikian, dia berpendapat impor di sektor makanan dan minuman olahan memang tidak bisa dihindari dalam masa global value chain sehingga produsen dalam negeri harus berbenah diri agar tetap kompetitif.
“Yang perlu dipikirkan oleh pengusaha antara lain bagaimana melakukan inovasi lebih cepat dan membaca kebutuhan serta selera konsumen,” ujarnya kepada Bisnis akhir pekan lalu.
Pabrikan juga harus mampu mengemas produknya dengan baik sehingga lebih menarik konsumen serta memperluas pasar agar ketersediaan lebih merata. Sementara itu, agar harga bisa lebih terjangkau, pengusaha perlu memikirkan untuk mencari alternatif bahan baku dan melakukan efisiensi.
Efisiensi yang dilakukan salah satunya otomatisasi dan pemangkasan rantai logistik. Dia menjelaskan banyak pelaku industri mamin memotong rantai distribusi dengan menyalurkan produk dari pabrik langsung ke pasar ritel, tidak melalui distributor ataupun pasar grosir.
Selain itu, pengusaha mamin juga melakukan efisiensi di sisi energi dengan mengganti sumber energi yang lebih murah.