Bisnis.com, JAKARTA —Jakarta sudah dikenal memiliki tingkat kepadatan lalu lintas yang tinggi. Berdasarkan data dari TomTom Traffic Index 2017, kota terbesar di Indonesia ini bahkan bertengger di peringkat ketiga dalam daftar kota dengan lalu lintas terpadat.
Data tersebut menunjukkan bahwa Jakarta memiliki lalu lintas terpadat di dunia setelah Bangkok dan Mexico City.
Indeks ini didasarkan pada kecepatan kendaraan berdasarkan basis data lalu lintas yang dimiliki TomTom. Komponen tersebut digunakan untuk mengukur waktu tempuh di sebuah jalan dan jaringan jalan.
Menariknya, 15 besar kota dengan lalu lintas terpadat didominasi oleh kota dari negara berkembang atau emerging market. Hanya Los Angeles yang berasal dari negara kaya, yaitu AS, yang masuk di dalamnya.
Kolumnis Bloomberg David Fickling, dalam artikelnya yang dikutip Bisnis pada Senin (12/11/2018), menilai salah satu penyebab padatnya lalu lintas di negara berkembang adalah kapasitas daya dukung jalan di banyak kota tersebut telah mencapai puncaknya.
Berdasarkan analisis data WHO dan Central Intelligence Agency (CIA), jalanan di Prancis, Rusia, dan Brasil, hanya memiliki 40 kendaraan terdaftar per kilometer (km). Bandingkan dengan Iran, Thailand, Vietnam, dan Indonesia yang lebih dari 200 kendaraan per km.
Dia memandang ada dua faktor yang menjadi penyebab utama kepadatan ini. Pertama, negara miskin memiliki persentase kepemilikan mobil yang rendah.
Contohnya, Bangladesh hanya memiliki 13 mobil teregistrasi per 1.000 orang, 30 di Nigeria, dan 44 di Pakistan. Jumlah ini di bawah angka negara berkembang, yang bisa lebih dari 500 registrasi.
Tetapi, semakin berkembang perekonomian suatu negara, semakin tidak terkendali pula peningkatan kepemilikan mobilnya. Lihat saja Thailand, Vietnam, dan Indonesia yang angkanya hampir melampaui Inggris dalam hal presentase kepemilikan mobil.
Selain itu, padatnya kendaraan roda dua menjadi faktor berikutnya. Ruangan yang dibutuhkan skuter dan sepeda motor untuk menghindari tabrakan adalah sekitar setengah ukuran mobil.
Hal ini dipandang bisa menjelaskan adanya larangan sepeda motor yang telah diterapkan di beberapa bagian Jakarta dan Manila, serta seluruh bagian Hanoi pada 2030.
Meski bisa saja menerapkan pembatasan kendaraan lewat izin khusus atau kuota tertentu serta mendukung layanan ride sharing, tapi solusi yang dinilai paling efektif untuk mengatasi kepadatan lalu lintas adalah kehadiran transportasi publik. Misalnya, kereta komuter untuk memfasilitasi mobilitas masyarakat.
Berdasarkan data TomTom, warga Jakarta memerlukan waktu tempuh tambahan rata-rata 48 menit per hari untuk mencapai tujuan atau 184 jam per tahun.
Secara keseluruhan, tingkat kepadatan lalu lintas mencapai 58% per hari. Tingkat kepadatan naik menjadi 63% pada pagi hari dan melonjak menjadi 95% pada sore hari.
Sementara itu, kepadatan di jalan tol bisa mencapai 68% sedangkan jalan raya biasa sekitar 54%.
Jakarta pun sedang membangun Mass Rapid Transit (MRT) dan Light Rail Transit (LRT), yang masing-masing diharapkan sudah dapat digunakan pada 2019.
Berdasarkan catatan Bisnis, pada Senin (6/11), Presiden Joko Widodo menyatakan proyek MRT fase I sudah selesai 97% dan diharapkan selesai pada Maret 2019. Pembangunan fase I ini melayani rute Bundaran Hotel Indonesia (HI)-Lebak Bulus.
PT Mass Rapid Transit Jakarta pun sedang menyiapkan proses lelang untuk MRT fase II, yang akan melayani rute Bundaran HI-Kampung Bandan.
Sementara itu, LRT Jakarta koridor I akan melayani rute Velodrome (Rawamangun)-Kelapa Gading. Selain itu, masih ada LRT Jabodebek yang nantinya menghubungkan Jakarta dengan Bogor, Depok, dan Bekasi.
Saat ini, Pemerintah DKI Jakarta tengah menerapkan kebijakan ganjil genap melalui Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 106 Tahun 2018 tentang Pembatasan Lalu Lintas dengan Sistem Ganjil-Genap tertanggal 12 Oktober 2018.
Kebijakan ini sebenarnya diterapkan untuk mendukung penyelenggaraan Asian Games 2018 dan Asian Para Games 2018. Namun, diputuskan untuk diperpanjang hingga akhir 2018.