Bisnis.com, JAKARTA--Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 146 Tahun 2017 terkait roadmap tarif cukai tembakau dinilai akan merugikan jutaan buruh linting kretek yang bergantung pada industri kretek nasional hasil tembakau (IHT).
PMK No.146/2017 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau menetapkan roadmap tentang penyederhanaan tarif cukai yang dimulai pada tahun ini. Dalam beleid tersebut, jumlah layer cukai akan disederhanakan secara bertahap, yakni 10 layer pada 2018, 8 layer pada 2019, 6 layer pada 2020 higga menjadi 5 layer pada 2021.
Ketua Pansus RUU Pertembakauan DPR RI Firman mengakui tujuan pemerintah untuk meningkatkan penerimaan negara dengan penyederhanaan itu. Tetapi di sisi lain, kebijakan tersebut justru berpotensi menutup industri skala menengah ke bawah.
"Ini korbannya akan sangat besar, yaitu tutupnya tenaga kerja, juga kehidupan petani menjadi terancam dan industri skala menengah ke bawah mengalami kebangkrutan. Dan yang paling ngeri adalah akan terjadi monopoli dan oligopoli yang luar biasa dalam industri ini," tegas Firman, minggu (28/10).
Aturan PMK tersebut memuat klausul penyederhanaan tarif menjadi lima layer akan mengakibatkan semua pabrikan nasional skala besar hingga menengah dan kecil berpotensi gulung tikar.
Pasalnya, industri kecil tidak akan sanggup bersaing dengan pemain besar yang sudah mempunyai brand internasional.
Selain itu, penggabungan tarif cukai Sigaret Kretek Tangan (SKT) Golongan 1A dan 1B juga akan memberangus SKT produk pabrikan yang masih barnafas Merah Putih.
Dewan Pimpinan Nasional Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (DPN APTI) meminta Presiden RI Joko Widodo untuk mengingatkan Menteri Keuangan terkait kebijakan simplifikasi tarif cukai tembakau yang berdampak langsung terhadap petani tembakau.
"Kami meminta Presiden RI untuk mengingatkan Menkeu agar kebijakan tersebut dikaji ulang dengan memperhatikan masukan semua kalangan terkait," tegas ketua DPN APTI, Agus Parmuji dalam siaran pers, Minggu (28/10).
Menurutnya, dampak kebijakan simplifikasi tarif cukai yang paling berbahaya adalah penggunaan bahan baku import akan meledak.
"Akibatnya ke depan ada rokok di Indonesia tapi tanaman tembakau sudah tidak ada di Indonesi," tegasnya.
Anggota Komisioner Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU) Kordat Wibowo menilai, dengan menggabungkan perusahaan-perusahaan industri kretek nasional, perusahaan IHT skala besar akan bertahan pada kebijakan simplifikasi.
Sementara itu, industri menengah ke bawah akan rentan. Dia mengatakan, kebijakan ini berpotensi memperkuat oligopolistik di IHT karena industri kecil meminta pertolongan kepada industri besar.
"Simplifikasi membuka peluang bagi perusahaan mega besar menjadi lebih besar dengan mengorbankan usaha kecil dan mengancam keberlangsungan industri kecil," ujar Kordat.
Sebelumnya, Kementerian Keuangan melalui Ditjen Bea dan Cukai telah memberikan sinyal bahwa pihaknya tidak akan memaksakan peyenderhanaan layer menjadi hingga tersisa 5 layer. Dengan catatan, 8 layer bisa mengadopsi semuanya dan perkembangan baik dari sisi industri maupun aspek lainnya.