Bisnis.com, JAKARTA -- Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral merancang ulang draf regulasi pemanfaatan sistem pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) atap. Pengaturan penggunaan PLTS atap kini juga akan melingkupi sektor industri.
Dalam draf awal regulasi tersebut, jenis pelanggan PLN yang dapat menggunakan PLTS atap hanya pelanggan rumah tangga, lembaga pemerintahan, dan badan sosial. Sektor industri dikecualikan.
Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Rida Mulyana mengatakan, diaturnya sektor industri untuk mengakomodir kebutuhan investor global yang dituntut untuk menggunakan listrik dari sumber energi terbarukan hingga mencapai 100% atau dinamakan RE100. Jika pemanfaatan PLTS atap untuk industri didukung, investor akan semakin banyak yang masuk ke Indonesia.
"Belakangan industri dari pusatnya di luar negeri harus menggunakan energi bersih. Jauh-jauh datang dari Amerika ke sini hanya untuk cari energi dari EBT. Pemerintah sendiri kan diuntungkan kalau industri masuk," ujar Rida, Jumat (28/9).
Sisi positif lainnya, kata Rida, pemerintah tak perlu mengeluarkan anggaran untuk meningkatkan bauran energi baru terbarukan (EBT).
Dengan mencakupnya sektor industri ini, Kementerian ESDM tengah melakukan sinkronisasi draft Permen pemanfaatan PLTS atap dengan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia (ESDM) Nomor 1 Tahun 2017.
Pada Permen Nomor 1 Tahun 2017, diatur mengenai operasi paralel (OP), yakni interkoneksi pembangkit tenaga listrik atau sistem penyediaan tenaga listrik pemilik pembangkit dengan sistem penyediaan tenaga listrik lainnya. Pemilik pembangkit yang melakukan operasi pararel akan dikenai biaya, seperti biaya penyambungan, kapasitas, dan pembelian tenaga listrik.
"Untuk PLTS yang kecil-kecil tidak usah dikenai biaya itu. Tapi kalau industri kan besar (kapasitas). Nah, itu yang lagi disinkronkan antara dua permen ini jangan sampai ada tabrakan. Apakah nanti seperti rumah tangga, dibebaskan dari OP atau bagaimana," kata Rida.
Adapun menurut Rida, pemanfaatan PLTS atap oleh industri tidak akan berdampak signifikan pada pengurangan pendapatan PT PLN (Persero). Dia memperkirakan potensi kehilangan pendapatan PLN hanya 1,5%.
"Misalnya, sebulan PLN dapat Rp20 triliun, dengan penerapan PLTS termasuk industri ngga sampai Rp300 miliar (yang hilang) per bulannya," katanya.
"Tapi kita punya benefit, investasi masuk, EBT makin tinggi, industri terakomodir. Jadi banyak yang berkepentingan. Ini harus ada."
Dia mengaku penerapan ke sektor industri ini telah disetujui oleh Menteri ESDM Ignasius Jonan. Draft aturan tersebut saat ini telah masuk ke Biro Hukum Kementerian ESDM.
Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI) menilai pengaturan pemanfaatan PLTS atap pada pelanggan golongan industri memang diperlu didorong.
Ketua Umum AESI Andhika Prastawa mengatakan, pemanfaatan PLTS untuk sektor industri memberikan dampak yang besar untuk menumbuhkan industri solar photovoltaic (PV) dalam negeri.
“Industri juga coba kami dorong. Kalau industri masang itu biasanya langsung 500 KW (kilowatt) hingga 1 MW (megawatt), jadi demand besar. Industri manufaktur dalam negeri ikut berkembang,” ujarnya.
Di sisi lain, kata Andhika, pengaturan pada sektor industri juga bertujuan untuk memfasilitasi industri global yang berinvestasi di Indonesia. .
“Jadi banyak industri glonal yang perlu semacam sertifikat bahwa mereka menggunakan energi terbarukan 100%,” katanya.
Indonesia memiliki potensi energi surya yang besar sekitar 207 gigawatt (GW). Namun, pengembangan di Indonesia justru jauh tertinggal dibandingkan negara-negara tetangga, seperti Thailand, Filipina, Malaysia, dan Singapura. Pemanfaatan energi surya Indonesia tercatat masih di bawah 100 MW, sementar Thailand sudah mencapai 2,7 GW.